Materi ini adalah slide perkuliahan yang telah diperbaharui dan disajikan sebagai bahan kuliah tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011.
Tauran: http://www.mediafire.com/?omraqjh38zyfa
Respon dalam bentuk saran dan kritik untuk penyempurnaan substansi sangat diharapkan.
Pokok bahasan yang tercakup:
1-Silabus
2-Ruang lingkup dan urgensi Perbandingan Sistem Pemerintahan
3-Pendekatan Kelembagaan dan Behavioral
4a-Pendekatan Developmentalisme
4b-Pendekatan Area Studies
5-Pendekatan Aktor, Identitas, Kepentingan
6 dan 7-Metode dan Strategi Perbandingan
9-Reformasi Birokrasi dan Kapasitas Negara
10-Beyond Election and Democracy
11-Relasi Kuasa dan Pembangunan
12-Regionalisme dan Tata Pemerintahan Dunia Baru
13-Institusi dan Kinerja Pemerintahan
14-Overview Perkuliahan
Literatur yang tercantum dalam setiap slide dapat dicari melalui media internet atau jika diperlukan, dapat menghubungi alamat email saya: cpaskarina@yahoo.com
Jumat, 11 Maret 2011
Mengelola Paradoks World Class University
Visi Unpad dalam Renstra Unpad 2007-2013 adalah Menjadi Universitas Unggul Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Kelas Dunia. Visi ini sejalan dengan visi Dikti, bahkan sejalan dengan agenda global dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yakni world class university, research university, enterpreneurship university, dan konsep-konsep sejenisnya. Permasalahannya adalah, jika memang Unpad harus mengikuti agenda global tersebut maka strategi apa yang memiliki daya ungkit (leverage) untuk mengakselerasi laju Unpad menuju universitas unggul dalam penyelenggaraan pendidikan kelas dunia?
Pengalaman berbagai perguruan tinggi di dunia dan juga di Indonesia menunjukkan bahwa pendekatan utama yang digunakan adalah dengan melakukan perubahan institusi perguruan tinggi agar kompatibel dengan karakter perguruan tinggi kelas dunia. Konsep ini sebenarnya tidak salah, tapi yang seringkali terabaikan adalah kesadaran bahwa perubahan institusional harus berangkat dari kondisi kontekstual, dari indentifikasi kondisi eksisting, apa yang bisa dilanjutkan dan apa yang harus diubah. Kesadaran ini menjadi penting karena ada titik awal yang berbeda antara perguruan-perguruan tinggi di negara berkembang dengan di negara maju. Penyelenggaraan pendidikan tinggi di negara-negara maju telah berlangsung berabad-abad, sehingga budaya akademiknya telah melembaga dan karenanya tidak mengherankan bila peringkat-peringkat teratas dari berbagai kategori perguruan tinggi kelas dunia diisi oleh perguruan tinggi di negara maju. Di negara-negara berkembang, keberadaan perguruan tinggi seringkali lahir bukan semata untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan tinggi, tapi juga karena faktor identitas, politik, bahkan geografis agar perguruan tinggi tidak terpusat di Pulau Jawa. Dalam konteks itu, upaya untuk mengembangkan sebuah budaya akademik yang setara dengan apa yang telah melembaga ratusan tahun di perguruan-perguruan tinggi negara maju tidak mungkin dicapai dalam waktu singkat, sekalipun ada upaya akselerasi. Karena itu, pilihan pendekatan dan strategi yang tepat akan menentukan keberhasilan mengejar ketertinggalan itu. Mengikuti jejak yang dilakukan perguruan-perguruan tinggi lain bisa jadi bukanlah langkah yang tepat karena dengan begitu, Unpad akan selalu berada di belakang. Perlu ada lompatan untuk mengejar ketertinggalan, dan karenanya pola pikir out of the box menjadi keharusan.
Agenda global dalam konsep world class university dan varian-variannya, menempatkan perguruan tinggi sebagai mitra bagi dunia kerja, sehingga konsep ini berkaitan erat dengan konsep link and match, triple helix, knowledge-based economy, dan sejenisnya. Tidak ada yang salah dengan konsep ini, tapi perlu ada kesadaran bahwa konsep-konsep ini rentan tergelincir dalam praktik komersialisasi dan industrialisasi pendidikan karena orientasi pendidikan semata diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Keberadaan perguruan tinggi juga adalah untuk pengembangan ilmu yang tidak selalu harus dikaitkan dengan kegunaan praktis. Kekuatan gagasan (power of idea) inilah yang seringkali terabaikan karena kesibukan perguruan tinggi berperan sebagai penyedia sumber daya bagi kepentingan praktis.
Konsep world class university merupakan konsep pengintegrasian penyelenggaraan pendidikan tinggi dalam suatu negara dengan sistem riset internasional. Dalam konteks ini, maka perubahan institusional tidak hanya berorientasi pada pembenahan kapasitas internal tapi juga kapasitas merespon berbagai tantangan dan peluang eksternal. Kesadaran akan pentingnya belajar dari pengalaman perguruan tinggi lain dalam mengelola kedua hal tersebut memang baik, tapi paradoks yang juga mesti disadari adalah keberhasilan perguruan tinggi itu dalam mencapai posisi kelas dunia justru karena keberanian mereka untuk berbeda (distinct), sehingga dengan perbedaan itu, mereka meraih posisi terdepan di banding perguruan tinggi lain. Jadi, jika Unpad ingin meraih status sebagai penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas dunia, maka harus mulai dipikirkan apa ciri khas atau brand image yang akan dikembangkan Unpad yang berbeda dengan perguruan tinggi lain? Apa kekhasan Unpad yang tidak akan bisa ditemukan di perguruan tinggi lain, dan dengan begitu, Unpad akan menjadi perguruan tinggi yang diakui dunia akan kompetensinya dalam mengembangkan kekhasan tersebut. Seperti juga fenomena globalisasi yang memunculkan paradoks menguatnya lokalitas, begitupun status world class university justru akan tercapai bila perguruan tinggi itu menjadi lokal (going local), tapi keseluruhan sistem untuk mengembangkan kekhasan lokalnya tersebut kompatibel dengan rezim internasional.
Dengan berfokus pada pengelolaan paradoks ini, sesungguhnya strategi untuk mencapai status penyelenggara pendidikan tinggi kelas dunia seyogianya berawal dari gagasan tentang kekhasan yang ingin dimunculkan atau dijadikan brand image Unpad, baru kemudian pembenahan institusional dilakukan untuk mewujudkan gagasan tersebut, bukan sebaliknya seperti yang sekarang dilakukan.
Kesadaran bahwa perguruan-perguruan tinggi di negara berkembang (termasuk Unpad) adalah late comer dibanding perguruan-perguruan tinggi di negara maju seyogianya menjadi dasar ketika mendesain perubahan institusional, yang di satu sisi bercorak market-based atau market-friendly dengan rezim internasional, tapi di sisi lain juga mampu memunculkan kekhasan lokal. Untuk masuk dalam rezim internasional, maka standarisasi penyelenggaraan pendidikan (pengajaran dan riset) menjadi kata kunci untuk menjamin terjaganya keseimbangan antara sisi penawaran dan permintaan. Sisi penawaran menyangkut kontinuitas aktivitas riset civitas academica, sedangkan sisi permintaan adalah kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders). Kemampuan memunculkan kekhasan lokal kata kuncinya adalah menentukan peran Unpad dalam jejaring sistem pendidikan tinggi internasional. Alih-alih berkompetisi dengan perguruan-perguruan tinggi yang sudah jauh lebih mapan, mengapa Unpad tidak mengembangkan kapasitas dan hasil-hasil riset yang lebih berorientasi pada kebutuhan lokal. Bayangkan, bila Unpad serius mengembangkan kajian ke-Sunda-an, tidak mustahil, Unpad akan mengalahkan Leiden sebagai kiblat studi tentang ke-Sunda-an. Atau, bila Unpad serius mengembangkan kajian tentang local governance, maka Unpad tidak akan kalah dengan perguruan-perguruan tinggi internasional yang juga mengembangkan program-program studi Asia, Afrika, dsb tapi Unpad punya nilai lebih karena sumber daya bahkan setting penelitiannya tersedia di negara kita. Pembedaan inilah yang tidak akan mampu disaingi oleh perguruan tinggi di negara maju.
Dengan demikian, jangan terjebak dengan pembenahan-pembenahan institusional yang bersifat intrumental tapi substansi ciri khas/pembeda/brand image justru tidak tergarap. Program kerja yang termuat dalam Renstra Unpad masih memberikan porsi yang sangat besar terhadap aspek-aspek instrumental tersebut, tapi belum banyak mengungkap gagasan tentang apa kekhasan Unpad yang akan menjadi senjata ampuh Unpad dalam menjadi perguruan tinggi kelas dunia. Mudah-mudahan di masa mendatang, ruang-ruang publik bagi berkembangnya kekuatan gagasan ini akan terus diperluas.
Tepi Cikapundung, 14 Oktober 2010
*) Tulisan ini dibuat untuk merespon ajakan diskusi salahseorang calon rektor Unpad yang berlaga dalam Pilrektor 2010 tentang isi Renstra Unpad.
Pengalaman berbagai perguruan tinggi di dunia dan juga di Indonesia menunjukkan bahwa pendekatan utama yang digunakan adalah dengan melakukan perubahan institusi perguruan tinggi agar kompatibel dengan karakter perguruan tinggi kelas dunia. Konsep ini sebenarnya tidak salah, tapi yang seringkali terabaikan adalah kesadaran bahwa perubahan institusional harus berangkat dari kondisi kontekstual, dari indentifikasi kondisi eksisting, apa yang bisa dilanjutkan dan apa yang harus diubah. Kesadaran ini menjadi penting karena ada titik awal yang berbeda antara perguruan-perguruan tinggi di negara berkembang dengan di negara maju. Penyelenggaraan pendidikan tinggi di negara-negara maju telah berlangsung berabad-abad, sehingga budaya akademiknya telah melembaga dan karenanya tidak mengherankan bila peringkat-peringkat teratas dari berbagai kategori perguruan tinggi kelas dunia diisi oleh perguruan tinggi di negara maju. Di negara-negara berkembang, keberadaan perguruan tinggi seringkali lahir bukan semata untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan tinggi, tapi juga karena faktor identitas, politik, bahkan geografis agar perguruan tinggi tidak terpusat di Pulau Jawa. Dalam konteks itu, upaya untuk mengembangkan sebuah budaya akademik yang setara dengan apa yang telah melembaga ratusan tahun di perguruan-perguruan tinggi negara maju tidak mungkin dicapai dalam waktu singkat, sekalipun ada upaya akselerasi. Karena itu, pilihan pendekatan dan strategi yang tepat akan menentukan keberhasilan mengejar ketertinggalan itu. Mengikuti jejak yang dilakukan perguruan-perguruan tinggi lain bisa jadi bukanlah langkah yang tepat karena dengan begitu, Unpad akan selalu berada di belakang. Perlu ada lompatan untuk mengejar ketertinggalan, dan karenanya pola pikir out of the box menjadi keharusan.
Agenda global dalam konsep world class university dan varian-variannya, menempatkan perguruan tinggi sebagai mitra bagi dunia kerja, sehingga konsep ini berkaitan erat dengan konsep link and match, triple helix, knowledge-based economy, dan sejenisnya. Tidak ada yang salah dengan konsep ini, tapi perlu ada kesadaran bahwa konsep-konsep ini rentan tergelincir dalam praktik komersialisasi dan industrialisasi pendidikan karena orientasi pendidikan semata diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Keberadaan perguruan tinggi juga adalah untuk pengembangan ilmu yang tidak selalu harus dikaitkan dengan kegunaan praktis. Kekuatan gagasan (power of idea) inilah yang seringkali terabaikan karena kesibukan perguruan tinggi berperan sebagai penyedia sumber daya bagi kepentingan praktis.
Konsep world class university merupakan konsep pengintegrasian penyelenggaraan pendidikan tinggi dalam suatu negara dengan sistem riset internasional. Dalam konteks ini, maka perubahan institusional tidak hanya berorientasi pada pembenahan kapasitas internal tapi juga kapasitas merespon berbagai tantangan dan peluang eksternal. Kesadaran akan pentingnya belajar dari pengalaman perguruan tinggi lain dalam mengelola kedua hal tersebut memang baik, tapi paradoks yang juga mesti disadari adalah keberhasilan perguruan tinggi itu dalam mencapai posisi kelas dunia justru karena keberanian mereka untuk berbeda (distinct), sehingga dengan perbedaan itu, mereka meraih posisi terdepan di banding perguruan tinggi lain. Jadi, jika Unpad ingin meraih status sebagai penyelenggaraan pendidikan tinggi kelas dunia, maka harus mulai dipikirkan apa ciri khas atau brand image yang akan dikembangkan Unpad yang berbeda dengan perguruan tinggi lain? Apa kekhasan Unpad yang tidak akan bisa ditemukan di perguruan tinggi lain, dan dengan begitu, Unpad akan menjadi perguruan tinggi yang diakui dunia akan kompetensinya dalam mengembangkan kekhasan tersebut. Seperti juga fenomena globalisasi yang memunculkan paradoks menguatnya lokalitas, begitupun status world class university justru akan tercapai bila perguruan tinggi itu menjadi lokal (going local), tapi keseluruhan sistem untuk mengembangkan kekhasan lokalnya tersebut kompatibel dengan rezim internasional.
Dengan berfokus pada pengelolaan paradoks ini, sesungguhnya strategi untuk mencapai status penyelenggara pendidikan tinggi kelas dunia seyogianya berawal dari gagasan tentang kekhasan yang ingin dimunculkan atau dijadikan brand image Unpad, baru kemudian pembenahan institusional dilakukan untuk mewujudkan gagasan tersebut, bukan sebaliknya seperti yang sekarang dilakukan.
Kesadaran bahwa perguruan-perguruan tinggi di negara berkembang (termasuk Unpad) adalah late comer dibanding perguruan-perguruan tinggi di negara maju seyogianya menjadi dasar ketika mendesain perubahan institusional, yang di satu sisi bercorak market-based atau market-friendly dengan rezim internasional, tapi di sisi lain juga mampu memunculkan kekhasan lokal. Untuk masuk dalam rezim internasional, maka standarisasi penyelenggaraan pendidikan (pengajaran dan riset) menjadi kata kunci untuk menjamin terjaganya keseimbangan antara sisi penawaran dan permintaan. Sisi penawaran menyangkut kontinuitas aktivitas riset civitas academica, sedangkan sisi permintaan adalah kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders). Kemampuan memunculkan kekhasan lokal kata kuncinya adalah menentukan peran Unpad dalam jejaring sistem pendidikan tinggi internasional. Alih-alih berkompetisi dengan perguruan-perguruan tinggi yang sudah jauh lebih mapan, mengapa Unpad tidak mengembangkan kapasitas dan hasil-hasil riset yang lebih berorientasi pada kebutuhan lokal. Bayangkan, bila Unpad serius mengembangkan kajian ke-Sunda-an, tidak mustahil, Unpad akan mengalahkan Leiden sebagai kiblat studi tentang ke-Sunda-an. Atau, bila Unpad serius mengembangkan kajian tentang local governance, maka Unpad tidak akan kalah dengan perguruan-perguruan tinggi internasional yang juga mengembangkan program-program studi Asia, Afrika, dsb tapi Unpad punya nilai lebih karena sumber daya bahkan setting penelitiannya tersedia di negara kita. Pembedaan inilah yang tidak akan mampu disaingi oleh perguruan tinggi di negara maju.
Dengan demikian, jangan terjebak dengan pembenahan-pembenahan institusional yang bersifat intrumental tapi substansi ciri khas/pembeda/brand image justru tidak tergarap. Program kerja yang termuat dalam Renstra Unpad masih memberikan porsi yang sangat besar terhadap aspek-aspek instrumental tersebut, tapi belum banyak mengungkap gagasan tentang apa kekhasan Unpad yang akan menjadi senjata ampuh Unpad dalam menjadi perguruan tinggi kelas dunia. Mudah-mudahan di masa mendatang, ruang-ruang publik bagi berkembangnya kekuatan gagasan ini akan terus diperluas.
Tepi Cikapundung, 14 Oktober 2010
*) Tulisan ini dibuat untuk merespon ajakan diskusi salahseorang calon rektor Unpad yang berlaga dalam Pilrektor 2010 tentang isi Renstra Unpad.
Selasa, 22 Juni 2010
Tracer Study Alumni IP FISIP Unpad
Para alumni IP,
berikut ini disampaikan lembar kuesioner tracer study Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad. Mohon kesediaan para alumni IP untuk mengisinya dan mem-forward- kan file ini pada alumni IP lainnya.
Kuesioner ini dibuat sebagai bahan penyusunan rencana pengembangan kapasitas kelembagaan JIP, sekaligus sebagai umpan balik bagi perbaikan kinerja JIP.
Klik di sini: http://www.scribd.com/doc/33414030/Kuesioner-Tracer-Study-JIP
Trims.
berikut ini disampaikan lembar kuesioner tracer study Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad. Mohon kesediaan para alumni IP untuk mengisinya dan mem-forward- kan file ini pada alumni IP lainnya.
Kuesioner ini dibuat sebagai bahan penyusunan rencana pengembangan kapasitas kelembagaan JIP, sekaligus sebagai umpan balik bagi perbaikan kinerja JIP.
Klik di sini: http://www.scribd.com/doc/33414030/Kuesioner-Tracer-Study-JIP
Trims.
Jumat, 11 Juni 2010
DANA ASPIRASI DAN PEMERATAAN KESEJAHTERAAN
Caroline Paskarina*)
DPR kembali mengejutkan publik dengan mewacanakan perlunya dana aspirasi sejumlah Rp 15 milyar per anggota dewan. Rencananya, uang tersebut akan digunakan oleh para anggota dewan untuk menjaring aspirasi rakyat di daerah pemilihannya, sekaligus untuk mengatasi kesenjangan pembangunan di daerah-daerah di Indonesia. Sepintas, gagasan ini terdengar begitu mulia, apalagi Indonesia memang tengah menghadapi masalah kesenjangan kesejahteraan yang begitu kentara. Tapi, di tengah ketidakpercayaan publik yang tinggi akibat maraknya kasus-kasus korupsi, gagasan itu justru dipertanyakan efektivitasnya. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi keraguan publik, mulai dari sulitnya pertanggungjawaban administratif penggunaan dana tersebut hingga soal resiko money politics.
Diskursus yang berkembang menyandingkan dua isu yang sebenarnya kontradiktif, yang satu adalah penjaringan aspirasi (konstituen) dan yang lainnya adalah pemerataan kesejahteraan. Penjaringan aspirasi konstituen meliputi lingkup yang terbatas, sedangkan pemerataan kesejahteraan menjangkau lingkup yang sangat luas. Pemerataan kesejahteraan akan berdampak bagi kehidupan publik secara keseluruhan, sebaliknya penjaringan aspirasi hanya berdampak pada kelompok konstituen yang diwakili. Menariknya, ketika kedua isu ini disandingkan, yang terungkap justru fakta bahwa pola relasi kekuasaan dalam perwujudan kesejahteraan, ternyata belum berubah meskipun reformasi politik telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.
Relasi Kekuasaan dalam Distribusi Kesejahteraan
Nesadurai (2004) mengungkapkan adanya keterkaitan antara konteks relasi kekuasaan dengan distribusi kesejahteraan. Menurutnya, di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, para elit politik memperoleh dan mempertahankan legitimasi kekuasaannya melalui dua cara, yakni melalui kemampuan mewujudkan kesejahteraan bagi publik dan dengan cara memelihara kohesivitas di kalangan pendukungnya. Pada praktiknya, distribusi kesejahteraan terutama dilakukan melalui cara kedua, di mana para elit politik menyalurkan sumber-sumber daya, baik berupa materi maupun akses terhadap pengambilan kebijakan, kepada para pendukungnya. Distribusi ini diarahkan tidak hanya bagi para elit politik dan pengusaha domestik, tapi juga bagi kelompok-kelompok sosial non-elit yang berpotensi menjadi basis massa bagi penguasa tersebut.
Dalam konteks relasi kekuasaan yang bersifat patron-klien, pola distribusi kesejahteraan tidak pernah berlangsung secara terbuka. Akibatnya, kesejahteraan menjadi sebuah komoditas kelompok (club goods) yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki akses pada lingkaran kekuasaan. Sebaliknya, sekalipun ada upaya para elit penguasa untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat umum, tapi proporsinya tidak setara dengan yang disebarkan pada kliennya. Kesenjangan ini tergambar dari pilihan kebijakan pembangunan maupun penganggaran yang selama ini terjadi di Indonesia, sehingga pertumbuhan ekonomi masih tetap berlangsung di kawasan-kawasan yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Efektifkah Dana Aspirasi?
Wacana tentang dana aspirasi per daerah pemilihan bersumber dari praktik yang biasa dilakukan di negara-negara Amerika dan Eropa dengan sistem pemilihan distrik. Selain itu, tradisi kaderisasi kepemimpinan di sana telah melembaga, sehingga setiap orang yang akan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, harus benar-benar mengenal daerah pemilihannya secara detil. Tradisi ini belum sepenuhnya terlembaga di Indonesia yang cenderung mengedepankan popularitas ketimbang kinerja dan rekam jejak seorang calon. Karena itu, jika mekanisme dana aspirasi akan diterapkan di Indonesia, yang paling berpeluang untuk menikmatinya adalah mereka yang menjadi klien dari para anggota legislatif tersebut. Apalagi, anggota legislatif dan/atau parpol tidak selalu memiliki data yang valid dan aktual tentang para konstituennya, sehingga peluang salah sasaran bahkan money politics menjadi lebih tinggi. Kegagalan skema dana aspirasi di Sumatra Barat, misalnya, membuktikan rentannya penyelewengan dana aspirasi untuk kepentingan pemeliharaan relasi patron-klien.
Dalam konteks relasi kekuasaan yang masih bercorak patrimonial, distribusi kesejahteraan tidak akan terwujud secara merata. Karena itu, jika tujuan akhirnya adalah pemerataan kesejahteraan, bukan dana aspirasi solusinya. Dana aspirasi dapat mengoptimalkan fungsi dewan dalam melakukan artikulasi kepentingan, bahkan dapat memperkuat hubungan antara anggota dewan dengan konstituennya selama diimbangi dengan skema penyaluran dana aspirasi yang akuntabel. Tapi, skema dana aspirasi tidak akan bisa menyelesaikan masalah pemerataan kesejahteraan yang sesungguhnya bersifat politik karena menyangkut komitmen politik penguasa untuk memilih kebijakan yang menempatkan kesejahteraan sebagai barang publik, bukan komoditas milik kelompok tertentu.
Prioritas yang harus dilakukan adalah mengubah relasi kekuasaan patrimonial dengan memperluas akses partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan, sehingga publik dapat menekan pemerintah untuk mau berinvestasi pada sektor-sektor yang dapat mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi, meskipun tidak menghasilkan keuntungan dalam waktu dekat, seperti infrastruktur dan investasi sosial. Harus ada keterbukaan bagi publik untuk mengawasi jalannya pembangunan dan penganggaran, sehingga penyimpangan yang terjadi dapat diminimalkan. Keterbukaan dan partisipasi ini akan memberikan peluang yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh sumber-sumber daya, sehingga ia tidak perlu lagi mencari patron untuk bisa sejahte
*) Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran
DPR kembali mengejutkan publik dengan mewacanakan perlunya dana aspirasi sejumlah Rp 15 milyar per anggota dewan. Rencananya, uang tersebut akan digunakan oleh para anggota dewan untuk menjaring aspirasi rakyat di daerah pemilihannya, sekaligus untuk mengatasi kesenjangan pembangunan di daerah-daerah di Indonesia. Sepintas, gagasan ini terdengar begitu mulia, apalagi Indonesia memang tengah menghadapi masalah kesenjangan kesejahteraan yang begitu kentara. Tapi, di tengah ketidakpercayaan publik yang tinggi akibat maraknya kasus-kasus korupsi, gagasan itu justru dipertanyakan efektivitasnya. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi keraguan publik, mulai dari sulitnya pertanggungjawaban administratif penggunaan dana tersebut hingga soal resiko money politics.
Diskursus yang berkembang menyandingkan dua isu yang sebenarnya kontradiktif, yang satu adalah penjaringan aspirasi (konstituen) dan yang lainnya adalah pemerataan kesejahteraan. Penjaringan aspirasi konstituen meliputi lingkup yang terbatas, sedangkan pemerataan kesejahteraan menjangkau lingkup yang sangat luas. Pemerataan kesejahteraan akan berdampak bagi kehidupan publik secara keseluruhan, sebaliknya penjaringan aspirasi hanya berdampak pada kelompok konstituen yang diwakili. Menariknya, ketika kedua isu ini disandingkan, yang terungkap justru fakta bahwa pola relasi kekuasaan dalam perwujudan kesejahteraan, ternyata belum berubah meskipun reformasi politik telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.
Relasi Kekuasaan dalam Distribusi Kesejahteraan
Nesadurai (2004) mengungkapkan adanya keterkaitan antara konteks relasi kekuasaan dengan distribusi kesejahteraan. Menurutnya, di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, para elit politik memperoleh dan mempertahankan legitimasi kekuasaannya melalui dua cara, yakni melalui kemampuan mewujudkan kesejahteraan bagi publik dan dengan cara memelihara kohesivitas di kalangan pendukungnya. Pada praktiknya, distribusi kesejahteraan terutama dilakukan melalui cara kedua, di mana para elit politik menyalurkan sumber-sumber daya, baik berupa materi maupun akses terhadap pengambilan kebijakan, kepada para pendukungnya. Distribusi ini diarahkan tidak hanya bagi para elit politik dan pengusaha domestik, tapi juga bagi kelompok-kelompok sosial non-elit yang berpotensi menjadi basis massa bagi penguasa tersebut.
Dalam konteks relasi kekuasaan yang bersifat patron-klien, pola distribusi kesejahteraan tidak pernah berlangsung secara terbuka. Akibatnya, kesejahteraan menjadi sebuah komoditas kelompok (club goods) yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki akses pada lingkaran kekuasaan. Sebaliknya, sekalipun ada upaya para elit penguasa untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat umum, tapi proporsinya tidak setara dengan yang disebarkan pada kliennya. Kesenjangan ini tergambar dari pilihan kebijakan pembangunan maupun penganggaran yang selama ini terjadi di Indonesia, sehingga pertumbuhan ekonomi masih tetap berlangsung di kawasan-kawasan yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Efektifkah Dana Aspirasi?
Wacana tentang dana aspirasi per daerah pemilihan bersumber dari praktik yang biasa dilakukan di negara-negara Amerika dan Eropa dengan sistem pemilihan distrik. Selain itu, tradisi kaderisasi kepemimpinan di sana telah melembaga, sehingga setiap orang yang akan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, harus benar-benar mengenal daerah pemilihannya secara detil. Tradisi ini belum sepenuhnya terlembaga di Indonesia yang cenderung mengedepankan popularitas ketimbang kinerja dan rekam jejak seorang calon. Karena itu, jika mekanisme dana aspirasi akan diterapkan di Indonesia, yang paling berpeluang untuk menikmatinya adalah mereka yang menjadi klien dari para anggota legislatif tersebut. Apalagi, anggota legislatif dan/atau parpol tidak selalu memiliki data yang valid dan aktual tentang para konstituennya, sehingga peluang salah sasaran bahkan money politics menjadi lebih tinggi. Kegagalan skema dana aspirasi di Sumatra Barat, misalnya, membuktikan rentannya penyelewengan dana aspirasi untuk kepentingan pemeliharaan relasi patron-klien.
Dalam konteks relasi kekuasaan yang masih bercorak patrimonial, distribusi kesejahteraan tidak akan terwujud secara merata. Karena itu, jika tujuan akhirnya adalah pemerataan kesejahteraan, bukan dana aspirasi solusinya. Dana aspirasi dapat mengoptimalkan fungsi dewan dalam melakukan artikulasi kepentingan, bahkan dapat memperkuat hubungan antara anggota dewan dengan konstituennya selama diimbangi dengan skema penyaluran dana aspirasi yang akuntabel. Tapi, skema dana aspirasi tidak akan bisa menyelesaikan masalah pemerataan kesejahteraan yang sesungguhnya bersifat politik karena menyangkut komitmen politik penguasa untuk memilih kebijakan yang menempatkan kesejahteraan sebagai barang publik, bukan komoditas milik kelompok tertentu.
Prioritas yang harus dilakukan adalah mengubah relasi kekuasaan patrimonial dengan memperluas akses partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan, sehingga publik dapat menekan pemerintah untuk mau berinvestasi pada sektor-sektor yang dapat mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi, meskipun tidak menghasilkan keuntungan dalam waktu dekat, seperti infrastruktur dan investasi sosial. Harus ada keterbukaan bagi publik untuk mengawasi jalannya pembangunan dan penganggaran, sehingga penyimpangan yang terjadi dapat diminimalkan. Keterbukaan dan partisipasi ini akan memberikan peluang yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh sumber-sumber daya, sehingga ia tidak perlu lagi mencari patron untuk bisa sejahte
*) Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran
Minggu, 06 Juni 2010
Sabtu, 22 Mei 2010
Wisata Kemiskinan
Kemarin,ada berita kontroversial tentang wisata kemiskinan di Jakarta. Sebenarnya berita tentang itu sudah pernah ditayangkan di salahsatu televisi swasta beberapa bulan sebelumnya. Tapi, baru sekarang memancing perdebatan. Para elit politik, pemerintah, bahkan seorang artis merasa keberatan dengan wisata kemiskinan itu karena dianggap merendahkan harga diri bangsa. Dengan mengutip kasus India, sang artis mencontohkan protes warga India ketika film Slumdorg Millionaire ditayangkan karena dianggap mengeksploitasi kemiskinan India. Padahal, aktor utama yang bermain di film itu memang berasal dari daerah miskin di India.
Saya jadi teringat isu wisata kemiskinan ketika hari ini melewati daerah Cipeundeuy. Kereta Lodaya yang saya tumpangi kebetulan berisi rombongan turis asing dari Belgia. Sepanjang perjalanan, para turis itu sibuk memotret keindahan pemandangan. Ketika kereta berhenti cukup lama di Cipeundeuy, pemandangan menarik terjadi. Warga setempat, kebanyakan anak-anak usia sekolah dan ibu-ibu sambil mengendong bayinya menadahkan tangan, meminta uang pada para turis tersebut. Seorang ibu bahkan mendekat ke jendela kereta menadahkan tangan sambil menunjuk-nunjuk bayinya. Seolah ingin mengatakan minta uang untuk memberi makan anaknya. Sang turis lantas memotret adegan itu tanpa memberi uang karena memang jendela kereta yang tertutup tidak memungkinkannya.
Melihat pemandangan itu, terbersit dalam pikiran jangan-jangan kita memang perlu wisata kemiskinan. Tanpa ada wisata kemiskinan pun, ternyata warga di sepanjang jalur kereta api sudah berinisiatif sendiri mengemis atau berjualan asongan. Setiap kali saya berkereta ke Jakarta, Yogya, atau Surabaya, pemandangan serupa selalu terjadi. Apalagi bila kebetulan duduk di kelas ekonomi atau bisnis. Para pedagang asongan, pengamen, dan pengemis dengan giatnya bekerja mondar-mandir di sepanjang gerbong. Teriakan-teriakan 'mijon...mijon..., kopi..., lanting..., dan nasi ayam' bahkan sudah menjadi ciri khas perjalanan KA ke arah Jawa.
Jalur kereta api ternyata tidak hanya menyuguhkan keindahan pemandangan, tapi juga realitas kemiskinan warga. Masih sempatkah para pejabat melihat realitas itu ketika rute perjalanan dinas mereka lebih banyak melalui jalan tol atau pesawat? Tidak heran bila para elit yang mengomentari wisata kemiskinan itu merasa keberatan karena mungkin mereka tidak melihat sendiri kehidupan sehari-hari warga di sepanjang jalur kereta itu.
Wisata kemiskinan sebenarnya bukan hanya ada di Indonesia. Sebuah stasiun televisi lokal di Bandung pernah menayangkan film dokumenter berjudul 'Journey to the Heart' yang berkisah tentang program wisata ke sebuah desa terpencil di Amerika Latin. Di sana, para turis yang sebelumnya telah menjalani diklat, harus melaksanakan program pemberdayaan masyarakat lokal dengan membantu membuatkan kompor tanah liat yang layak. Alasannya, rumah-rumah penduduk di sana hanya punya kompor sederhana yang asapnya menyebar ke seluruh rumah, sehingga tidak sehat. Film dokumenter ini menggambarkan perjuangan para turis untuk bisa diterima warga setempat, membantu mereka, dan akhirnya ketika program berakhir, para turis dilepas pulang dengan tangis warga setempat. Ada ikatan yang terbentuk antara turis dan warga setempat. Ada program nyata yang diberikan para turis itu bagi warga lokal. Mungkin tidak otomatis menghilangkan kemiskinan di sana, tapi cukup membangkitkan kesadaran pemberdayaan warga setempat.
Program sejenis mungkin bisa diadaptasi di Indonesia. Kemiskinan adalah realitas kita bersama. Para elit mungkin merasa tersinggung dengan wisata kemiskinan. Tapi, bagaimana dengan para warga, para ibu, bahkan anak-anak di sepanjang jalur KA itu yang tidak segan-segan mengemis? Apakah rakyat kita sudah tidak punya harga diri?
Kemiskinan dan keterdesakan keadaan membuat banyak masyarakat berperilaku seperti itu. Jangankan mereka yang benar-benar miskin, kadang-kadang kelas menengah pun bermain dengan cara yang sama. Ada aktivis LSM mencari proyek di luar kantor karena aktivitasnya di lembaga tsb tidak menghasilkan uang, padahal ada keluarga yang harus ditanggungnya. Ada ormas yang bersusah payah minta bantuan dana pada pemerintah untuk kegiatan-kegiatannya. Ada yang berebut proyek untuk bisa meningkatkan taraf hidup. Ada juga yang bertransaksi untuk mendapat jabatan.
Semua dipaksa bermental miskin karena tidak ada akses yang sama untuk berusaha. Sumber-sumber daya dimiliki oleh sekelompok elit dan hanya mereka yang dekat dengan lingkaran kekuasaan bisa mencicipi madu kesejahteraan. Mereka yang ingin ikut menikmati madu itu harus bisa mencari patron yang bisa meneteskan madu itu, meski untuk itu harus saling sikut bahkan 'menghiba' agar dikasihani. Tidak ada persaingan berbasis kompetensi untuk memperoleh akses sumber daya. Karenanya, kesejahteraan tidak berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan atau kompetensi. Mereka yang gagal dalam persaingan mendapat patron terpaksa mencari celah sendiri di tengah ketidakpastian akses, atau akhirnya bergabung dengan mereka yang berada di sepanjang jalur KA tadi.
Selama kondisi ini masih berlanjut, tidak mustahil wisata kemiskinan akan jadi sumber devisa potensial bagi negara. Tapi, tegakah kita membiarkan keadaan ini? Kesejahteraan tidak akan pernah diberikan, tapi harus direbut !
Selamat hari kebangkitan nasional. Mudah-mudahan ini jadi momen awal untuk memperjuangkan akses kesejahteraan yang merata bagi rakyat.
Tasikmalaya, 19 Mei 2010
Saya jadi teringat isu wisata kemiskinan ketika hari ini melewati daerah Cipeundeuy. Kereta Lodaya yang saya tumpangi kebetulan berisi rombongan turis asing dari Belgia. Sepanjang perjalanan, para turis itu sibuk memotret keindahan pemandangan. Ketika kereta berhenti cukup lama di Cipeundeuy, pemandangan menarik terjadi. Warga setempat, kebanyakan anak-anak usia sekolah dan ibu-ibu sambil mengendong bayinya menadahkan tangan, meminta uang pada para turis tersebut. Seorang ibu bahkan mendekat ke jendela kereta menadahkan tangan sambil menunjuk-nunjuk bayinya. Seolah ingin mengatakan minta uang untuk memberi makan anaknya. Sang turis lantas memotret adegan itu tanpa memberi uang karena memang jendela kereta yang tertutup tidak memungkinkannya.
Melihat pemandangan itu, terbersit dalam pikiran jangan-jangan kita memang perlu wisata kemiskinan. Tanpa ada wisata kemiskinan pun, ternyata warga di sepanjang jalur kereta api sudah berinisiatif sendiri mengemis atau berjualan asongan. Setiap kali saya berkereta ke Jakarta, Yogya, atau Surabaya, pemandangan serupa selalu terjadi. Apalagi bila kebetulan duduk di kelas ekonomi atau bisnis. Para pedagang asongan, pengamen, dan pengemis dengan giatnya bekerja mondar-mandir di sepanjang gerbong. Teriakan-teriakan 'mijon...mijon..., kopi..., lanting..., dan nasi ayam' bahkan sudah menjadi ciri khas perjalanan KA ke arah Jawa.
Jalur kereta api ternyata tidak hanya menyuguhkan keindahan pemandangan, tapi juga realitas kemiskinan warga. Masih sempatkah para pejabat melihat realitas itu ketika rute perjalanan dinas mereka lebih banyak melalui jalan tol atau pesawat? Tidak heran bila para elit yang mengomentari wisata kemiskinan itu merasa keberatan karena mungkin mereka tidak melihat sendiri kehidupan sehari-hari warga di sepanjang jalur kereta itu.
Wisata kemiskinan sebenarnya bukan hanya ada di Indonesia. Sebuah stasiun televisi lokal di Bandung pernah menayangkan film dokumenter berjudul 'Journey to the Heart' yang berkisah tentang program wisata ke sebuah desa terpencil di Amerika Latin. Di sana, para turis yang sebelumnya telah menjalani diklat, harus melaksanakan program pemberdayaan masyarakat lokal dengan membantu membuatkan kompor tanah liat yang layak. Alasannya, rumah-rumah penduduk di sana hanya punya kompor sederhana yang asapnya menyebar ke seluruh rumah, sehingga tidak sehat. Film dokumenter ini menggambarkan perjuangan para turis untuk bisa diterima warga setempat, membantu mereka, dan akhirnya ketika program berakhir, para turis dilepas pulang dengan tangis warga setempat. Ada ikatan yang terbentuk antara turis dan warga setempat. Ada program nyata yang diberikan para turis itu bagi warga lokal. Mungkin tidak otomatis menghilangkan kemiskinan di sana, tapi cukup membangkitkan kesadaran pemberdayaan warga setempat.
Program sejenis mungkin bisa diadaptasi di Indonesia. Kemiskinan adalah realitas kita bersama. Para elit mungkin merasa tersinggung dengan wisata kemiskinan. Tapi, bagaimana dengan para warga, para ibu, bahkan anak-anak di sepanjang jalur KA itu yang tidak segan-segan mengemis? Apakah rakyat kita sudah tidak punya harga diri?
Kemiskinan dan keterdesakan keadaan membuat banyak masyarakat berperilaku seperti itu. Jangankan mereka yang benar-benar miskin, kadang-kadang kelas menengah pun bermain dengan cara yang sama. Ada aktivis LSM mencari proyek di luar kantor karena aktivitasnya di lembaga tsb tidak menghasilkan uang, padahal ada keluarga yang harus ditanggungnya. Ada ormas yang bersusah payah minta bantuan dana pada pemerintah untuk kegiatan-kegiatannya. Ada yang berebut proyek untuk bisa meningkatkan taraf hidup. Ada juga yang bertransaksi untuk mendapat jabatan.
Semua dipaksa bermental miskin karena tidak ada akses yang sama untuk berusaha. Sumber-sumber daya dimiliki oleh sekelompok elit dan hanya mereka yang dekat dengan lingkaran kekuasaan bisa mencicipi madu kesejahteraan. Mereka yang ingin ikut menikmati madu itu harus bisa mencari patron yang bisa meneteskan madu itu, meski untuk itu harus saling sikut bahkan 'menghiba' agar dikasihani. Tidak ada persaingan berbasis kompetensi untuk memperoleh akses sumber daya. Karenanya, kesejahteraan tidak berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan atau kompetensi. Mereka yang gagal dalam persaingan mendapat patron terpaksa mencari celah sendiri di tengah ketidakpastian akses, atau akhirnya bergabung dengan mereka yang berada di sepanjang jalur KA tadi.
Selama kondisi ini masih berlanjut, tidak mustahil wisata kemiskinan akan jadi sumber devisa potensial bagi negara. Tapi, tegakah kita membiarkan keadaan ini? Kesejahteraan tidak akan pernah diberikan, tapi harus direbut !
Selamat hari kebangkitan nasional. Mudah-mudahan ini jadi momen awal untuk memperjuangkan akses kesejahteraan yang merata bagi rakyat.
Tasikmalaya, 19 Mei 2010
Rabu, 16 September 2009
Gubernur Jabar Beri Kuliah Perdana di FISIP Unpad
GUBERNUR JABAR BERI KULIAH PERDANA DI FISIP UNPAD
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (FISIP Unpad) kembali menerima mahasiswa baru untuk tahun akademik 2009/2010. Sejumlah 1291 orang mahasiswa baru FISIP Unpad diterima secara resmi dalam upacara Sidang Terbuka Senat FISIP Unpad yang dipimpin langsung oleh Dekan FISIP Unpad dan dihadiri oleh para anggota Senat, guru besar, dosen, dan aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa di lingkungan FISIP Unpad. Acara tersebut diselenggarakan di Kampus FISIP Unpad Jatinangor, pada Kamis, 27 Agustus 2009. Dalam kesempatan itu, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan juga memberikan kuliah perdana menyambut mahasiswa baru.
Jumlah mahasiswa FISIP yang diterima pada tahun akademik ini mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk program Diploma 3 (D3), yang terdiri dari Program Ahli Administrasi dan Ahli Tata Pemerintahan, diterima sebanyak 339 orang mahasiswa baru. Mahasiswa baru Program Strata 1 (S1) untuk tahun akademik ini sebanyak 628 orang, yang terdiri dari mahasiswa Jurusan Administrasi Negara 136 orang, Hubungan Internasional 138 orang, Kesejahteraan Sosial 56 orang, Ilmu Pemerintahan 129 orang, Antropologi Sosial 58 orang, dan Administrasi Niaga 121 orang. Untuk Program S1 Kelas Khusus, jumlah mahasiswa yang diterima adalah 162 orang, dan untuk program pascasarjana sebanyak 222 orang, terdiri dari mahasiswa program S2 sebanyak 61 orang dan S3 sebanyak 161 orang.
Dalam sambutannya, Dekan FISIP Unpad menekankan komitmen FISIP untuk terus memperjuangkan pencapaian visi “komitmen pada keunggulan, dan responsif terhadap perubahan”. Untuk mencapai visi tersebut, FISIP hingga sekarang konsisten dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia tenaga pengajar, tenaga pendukung, sarana, dan prasarana untuk menunjang optimalisasi kegiatan belajar-mengajar.
Sejalan dengan itu, Gubernur Ahmad Heryawan juga mengajak para mahasiswa baru untuk turut berpartisipasi dalam memajukan Jawa Barat. Menurutnya, kemajuan Jawa Barat sangat ditentukan oleh lahirnya ide-ide baru yang dikembangkan di kalangan masyarakat terpelajar seperti di lingkungan kampus Unpad, apalagi saat ini Jawa Barat tengah menghadapi banyak tantangan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Khusus untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melaksanakan sejumlah kebijakan dan program, seperti BOS, bantuan buku pelajaran, peningkatan kesejahteraan guru, dan beasiswa khususnya untuk menyiapkan sumber daya manusia yang mampu mendukung sektor-sektor strategis di Jawa Barat. Di bidang pemerintahan, Gubernur menyebutkan ada 4 (empat) strategi untuk mencegah korupsi di birokrasi pemerintahan, yakni: (1) sistem keuangan yang sulit dimanipulasi; (2) membangun character building yang penuh integritas; (3) perwujudan kesejahteraan; dan (4) penegakan hukum.
Jawa Barat dengan jumlah penduduk lebih dari 40 juta merupakan potensi yang strategis untuk pembangunan, tapi masih menghadapi permasalahan kemiskinan, pengangguran, tingginya angka putus sekolah, dan kesenjangan dalam pembangunan infrastruktur di kawasan selatan Jawa Barat. Di akhir kuliah umumnya, Gubernur mengajak seluruh civitas academica untuk terus mengembangkan inovasi dan invensi bagi pengembangan sains dan teknologi yang berpusat di dunia kampus dan lembaga-lembaga penelitian. Sebagai aset Jawa Barat, Gubernur meminta FISIP Unpad untuk berkontribusi dalam mencari solusi bagi persoalan-persoalan Jawa Barat, memajukan budaya Jawa Barat, mengembangkan mentalitas mandiri, mensinergikan pembangunan perkotaan dengan perdesaan, serta mengembangkan potensi-potensi Jawa Barat dengan semangat keberpihakan pada kepentingan publik.** (CP/Tim Pubdok PMB Fisip)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (FISIP Unpad) kembali menerima mahasiswa baru untuk tahun akademik 2009/2010. Sejumlah 1291 orang mahasiswa baru FISIP Unpad diterima secara resmi dalam upacara Sidang Terbuka Senat FISIP Unpad yang dipimpin langsung oleh Dekan FISIP Unpad dan dihadiri oleh para anggota Senat, guru besar, dosen, dan aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa di lingkungan FISIP Unpad. Acara tersebut diselenggarakan di Kampus FISIP Unpad Jatinangor, pada Kamis, 27 Agustus 2009. Dalam kesempatan itu, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan juga memberikan kuliah perdana menyambut mahasiswa baru.
Jumlah mahasiswa FISIP yang diterima pada tahun akademik ini mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk program Diploma 3 (D3), yang terdiri dari Program Ahli Administrasi dan Ahli Tata Pemerintahan, diterima sebanyak 339 orang mahasiswa baru. Mahasiswa baru Program Strata 1 (S1) untuk tahun akademik ini sebanyak 628 orang, yang terdiri dari mahasiswa Jurusan Administrasi Negara 136 orang, Hubungan Internasional 138 orang, Kesejahteraan Sosial 56 orang, Ilmu Pemerintahan 129 orang, Antropologi Sosial 58 orang, dan Administrasi Niaga 121 orang. Untuk Program S1 Kelas Khusus, jumlah mahasiswa yang diterima adalah 162 orang, dan untuk program pascasarjana sebanyak 222 orang, terdiri dari mahasiswa program S2 sebanyak 61 orang dan S3 sebanyak 161 orang.
Dalam sambutannya, Dekan FISIP Unpad menekankan komitmen FISIP untuk terus memperjuangkan pencapaian visi “komitmen pada keunggulan, dan responsif terhadap perubahan”. Untuk mencapai visi tersebut, FISIP hingga sekarang konsisten dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia tenaga pengajar, tenaga pendukung, sarana, dan prasarana untuk menunjang optimalisasi kegiatan belajar-mengajar.
Sejalan dengan itu, Gubernur Ahmad Heryawan juga mengajak para mahasiswa baru untuk turut berpartisipasi dalam memajukan Jawa Barat. Menurutnya, kemajuan Jawa Barat sangat ditentukan oleh lahirnya ide-ide baru yang dikembangkan di kalangan masyarakat terpelajar seperti di lingkungan kampus Unpad, apalagi saat ini Jawa Barat tengah menghadapi banyak tantangan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Khusus untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melaksanakan sejumlah kebijakan dan program, seperti BOS, bantuan buku pelajaran, peningkatan kesejahteraan guru, dan beasiswa khususnya untuk menyiapkan sumber daya manusia yang mampu mendukung sektor-sektor strategis di Jawa Barat. Di bidang pemerintahan, Gubernur menyebutkan ada 4 (empat) strategi untuk mencegah korupsi di birokrasi pemerintahan, yakni: (1) sistem keuangan yang sulit dimanipulasi; (2) membangun character building yang penuh integritas; (3) perwujudan kesejahteraan; dan (4) penegakan hukum.
Jawa Barat dengan jumlah penduduk lebih dari 40 juta merupakan potensi yang strategis untuk pembangunan, tapi masih menghadapi permasalahan kemiskinan, pengangguran, tingginya angka putus sekolah, dan kesenjangan dalam pembangunan infrastruktur di kawasan selatan Jawa Barat. Di akhir kuliah umumnya, Gubernur mengajak seluruh civitas academica untuk terus mengembangkan inovasi dan invensi bagi pengembangan sains dan teknologi yang berpusat di dunia kampus dan lembaga-lembaga penelitian. Sebagai aset Jawa Barat, Gubernur meminta FISIP Unpad untuk berkontribusi dalam mencari solusi bagi persoalan-persoalan Jawa Barat, memajukan budaya Jawa Barat, mengembangkan mentalitas mandiri, mensinergikan pembangunan perkotaan dengan perdesaan, serta mengembangkan potensi-potensi Jawa Barat dengan semangat keberpihakan pada kepentingan publik.** (CP/Tim Pubdok PMB Fisip)
Senin, 04 Mei 2009
Kamis, 30 April 2009
Langganan:
Postingan (Atom)