Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Februari 2008

Politik Multikulturalisme: Strategi Memperkuat Wawasan Kebangsaan

Dede Mariana dan Caroline Paskarina

Pengantar
Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Arus globalisasi dan demokratisasi yang semakin kuat di akhir abad ke-20 membawa perubahan besar, termasuk mendorong kebangkitan identitas etnis dan golongan. Nasionalisme yang sempat menjadi simbol pemersatu menghadapi kolonialisme dan imperialisme mulai menurun popularitasnya. Di sisi lain, relasi kekuasaan pun mengalami pergeseran yang signifikan sebagai akibat dari berkembangnya demokratisasi, globalisasi, dan lokalisasi yang ditandai menguatnya tuntutan otonomi daerah. Demokratisasi membuka peluang bagi setiap kelompok masyarakat untuk menonjolkan identitasnya, sehingga muncul kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis identitas agama, etnis, budaya, bahkan gender. Relasi kekuasaan dalam negara pun mengalami pergeseran, sehingga negara diwajibkan untuk mengakomodasi beragam identitas tersebut untuk memelihara keseimbangan dan harmonisasi dalam relasi kekuasaan.
Fenomena glokalisasi yang muncul sebagai antitesis terhadap globalisasi terjadi di hampir seluruh belahan dunia, khususnya di negara-negara dengan komposisi penduduk yang beragam dari sisi kultural. Di tengah arus globalisasi yang memunculkan uniformitas dalam identitas sebagai warga global, berkembang keinginan dari kelompok-kelompok minoritas untuk memunculkan jati diri kulturalnya, agar identitas tersebut memperoleh pengakuan akan eksistensinya. Fenomena ini pun terjadi di Indonesia, apalagi setelah reformasi 1998, liberalisasi politik mewarnai seluruh dinamika politik, termasuk dalam hubungan pusat dan daerah. Tuntutan akan desentralisasi semakin kuat, khususnya berasal dari daerah-daerah kaya yang selama masa Orde Baru merasa diperlakukan tidak adil dalam hal perimbangan keuangan.
Sebagai sebuah entitas kenegaraan, Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.500 pulau dan dihuni 931 kelompok etnik, mulai dari Aceh di Sumatra sampai Asmat di Papua. Masing-masing kelompok etnik memiliki kebudayaannya sendiri dengan adat-istiadat, tradisi dan kesenian. Jika tidak dikelola dengan baik, keragaman budaya ini bisa menimbulkan konflik. Samuel Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation”. Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya.
Wacana etnisitas dan identitas lokal dijadikan sebagai alat politik untuk melakukan tawar-menawar dengan pemerintah pusat agar daerah memperoleh otonomi yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Bahkan, tidak hanya tuntutan otonomi luas, sejumlah daerah pun “menekan” pemerintah pusat akan memisahkan diri dari NKRI bila tidak dipenuhi tuntutannya. Sebagai kompromi terhadap tuntutan pemisahan diri tersebut, dibuatlah UU Otonomi Khusus untuk Nangroe Aceh Darusallam dan Papua, dengan pengaturan khusus untuk mengakomodasi tuntutan pengakuan identitas lokal di kedua daerah tersebut. Aceh dengan identitas ke-Islam-annya, dan Papua dengan identitas adatnya.
Selain itu, di sejumlah daerah pun berkembang kontroversi tentang wacana peraturan daerah berdasarkan Syariat Islam. Daerah-daerah lain yang mayoritas penduduknya beragama non-Muslim pun sempat memunculkan wacana sejenis. Bali, misalnya, memunculkan isu Ajeg Bali yang intinya ingin mengembalikan nilai-nilai adat dan budaya Bali sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan. Isu agama dan etnisitas mudah sekali dipolitisasi untuk memicu konflik di masyarakat. Sejumlah daerah, seperti Poso, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Lombok, dan Ambon menjadi contoh rentannya masyarakat menghadapi politisasi identitas etnis dan agama.
Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi pekerjaan yang cukup berat untuk membangun wawasan kebangsaan. Secara historis, Indonesia sebagai suatu entitas kebangsaan merupakan hal yang baru terbentuk ketika merdeka, sementara jauh sebelumnya, telah terdapat berbagai entitas etnisitas dengan identitasnya masing-masing, yang memiliki status dan kedaulatan sendiri. Nasionalisme Indonesia adalah nilai-nilai yang sengaja diformulasikan sebagai antitesis terhadap dominasi kolonialisme Belanda oleh sekelompok masyarakat yang sebelumnya memiliki identitas masing-masing yang terpisah (Purwanto, 2001: 244). Setelah Indonesia merdeka, salahsatu tugas utama dari negara adalah menciptakan fondasi nasional bagi dirinya sendiri, namun sangat rentan terhadap gejolak identitas. Adanya campur tangan negara yang sangat besar dalam proses pembentukan identitas kebangsaan pada negara yang baru itu mengakibatkan nasionalisme yang berkembang adalah nasionalisme negara dan bukan nasionalisme popular yang berakar kuat pada masyarakat Indonesia.
Pertentangan antara identitas etnis dan identitas nasional ini menjadi inti dari persoalan penguatan wawasan kebangsaan. Menguatnya identitas etnis merefleksikan surutnya loyalitas suatu kelompok etnis terhadap kesepakatan ikatan yang lebih besar (negara bangsa). Hal ini akan mengarah pada persoalan yang lebih krusial karena dapat melemahkan kohesi nasional atau soliditas nasional. Kohesi nasional merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor, sehingga kemampuan untuk memperkuat kohesi nasional ditentukan oleh kapasitas dalam menangani komplikasi berbagai persoalan kebangsaan secara serius dan komprehensif. Di sinilah wacana mengenai penguatan wawasan kebangsaan perlu diorientasikan pada pemaknaan ulang nasionalisme dan relevansinya dengan berbagai kecenderungan yang berkembang saat ini, seperti demokratisasi dan otonomi daerah, sehingga dapat dirumuskan pendekatan-pendekatan alternatif untuk memperkuat wawasan kebangsaan dengan tetap mengakomodasi beragam identitas masyarakat yang ada di Indonesia.

selanjutnya, kirimkan e-mail ke cpaskarina@yahoo.com untuk artikel lengkap

*) Dipublikasikan sebagai salahsatu artikel dalam Buku "Tantangan Pembangunan: Dinamika Pemikiran Seskoad Edisi Keempat Belas". Diterbitkan oleh Forum Pengkajian Seskoad, Bandung, November 2007.

Filantropi untuk Keadilan Sosial: Mungkinkah?

Pengantar
Awal abad ke-21 bagi bangsa Indonesia menjadi periode yang tidak dapat dilupakan. Banyak peristiwa yang mengubah perjalanan bangsa Indonesia terjadi pada periode ini, mulai dari krisis moneter, reformasi, peralihan kekuasaan, demokratisasi, iklim kebebasan yang makin luas, perubahan sosial budaya, hingga maraknya bencana alam dan sosial terjadi selama periode ini. Kemiskinan dan kesenjangan sosial yang selama ini seolah ditutupi terbuka luas akibat kebebasan arus informasi. Terjadinya rangkaian bencana, tsunami hingga lumpur Lapindo, semakin menambah tingkat kemiskinan masyarakat.
Kondisi ini memicu bangkitnya kesadaran bahwa ternyata hasil pembangunan selama 32 tahun lebih tidak cukup merata dinikmati rakyat Indonesia. Kesadaran ini mendorong bangkitnya gerakan-gerakan kedermawanan untuk membantu mengatasi beragam persoalan sosial di masyarakat. Sebenarnya gerakan kedermawanan atau yang sekarang populer disebut filantropi, bukanlah hal baru karena masyarakat Indonesia sudah mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari tradisi dan nilai keagamaan yang dianut.
Dari sisi tradisi, kita mengenal adanya tradisi berderma di kalangan perantau untuk mengirimkan sebagian penghasilannya untuk membangun kampung halamannya. Tradisi ini dikenal di kalangan perantau Minang, Nias, Jawa yang merantau di berbagai daerah di Indonesia, hingga mereka yang merantau ke negeri orang. Remittance yang diberikan oleh para tenaga kerja Indonesia menjadi salahsatu sumber dana yang banyak mendorong kemajuan di berbagai desa di Indonesia.
Dari sisi praktik nilai keagamaan, kita mengenal perilaku kedermawanan ini dalam bentuk akumulasi dana umat untuk kegiatan-kegiatan sosial. Dana-dana zakat, infak, dan sedekah yang dikelola dengan manajemen modern ternyata dapat membantu menangani masalah keterbatasan dana pendidikan, kesehatan, dll untuk umat Islam. Demikian pula dana-dana kolekte dan perpuluhan yang dikelola gereja sejak lama menjadi sumber utama untuk pembiayaan kegiatan operasional gereja dan kegiatan sosial lainnya. Demikian pula sumbangan finansial dan nonfinansial yang diberikan melalui berbagai yayasan dan organisasi keagamaan banyak dimanfaatkan untuk memberikan berbagai pelayanan bagi masyarakat miskin.
Meski demikian, pola kedermawanan (filantropi) tersebut, baik yang berbasis tradisi maupun agama, belum secara optimal dikelola. Di Indonesia, faktor agama menjadi motif utama bagi seseorang untuk menyumbang, sehingga kegiatan berderma biasanya ada "musim panen" menjelang hari-hari raya (Idul Fitri atau Natal). Di sisi lain, lemahnya kepercayaan (trust) menyebabkan kesenjangan antara potensi sumbangan dalam masyarakat dengan jenis serta jumlah lembaga sosial yang menerimanya. Hasil riset Public Interest Research and Advocacy Center (2001) menunjukkan bahwa belum optimalnya akumulasi dana filantropi disebabkan oleh belum adanya kepercayaan dari masyarakat untuk menyumbangkan dana melalui lembaga penggalang dana.
Kendala-kendala tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan dana-dana filantropi masih bersifat sektarian dan parsial, belum banyak dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih luas cakupannya, seperti pemberdayaan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup, dll). Terbatasnya dana yang dikelola LSM akibat rendahnya kepercayaan masyarakat menjadi penyebab belum optimalnya daya jangkau pemanfaatan dana. Hal inilah yang memunculkan pertanyaan sejauhmana kesalehan sosial dalam bentuk perilaku filantropi ini dapat berdampak pada upaya peningkatan keadilan sosial.
Padahal, berkembangnya wacana kesalehan sosial tentunya diarahkan untuk membangkitkan kepedulian dan tindakan aksi yang secara konkret dapat membantu mengatasi masalah-masalah sosial di masyarakat. Bagaimana seharusnya dana-dana filantropi itu dikelola agar daya jangkaunya lebih luas? Bagaimana seharusnya pemerintah daerah berperan dalam hal ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dibahas dalam uraian berikut ini.


Memahami Kedermawanan Sosial (Filantropi)
Istilah kedermawanan diartikan sebagai perpindahan sumber daya secara sukarela untuk tujuan beramal, sosial, dan kemasyarakatan yang terdiri dari 2 (dua) bentuk utama, yakni pendayagunaan hibah sosial dan pembangunan (Gisela dalam Saidi dan Abidin, 2004: 61). Selanjutnya, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hibah sosial adalah bantuan kepada suatu organisasi nirlaba untuk kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, amal, atau kegiatan lain yang melayani kemaslahatan masyarakat dengan hak pengelolaan hibah sepenuhnya pada penerima. Sedangkan yang dimaksud dengan hibah pembangunan adalah bantuan selektif kepada organisasi nirlaba yang menjalankan suatu kegiatan atau agenda yang sejalan dengan organisasi pemberi bantuan.
Definisi tersebut menunjukkan kriteria nirlaba sebagai ciri utama dari kedermawanan. Ciri yang membedakan adalah pada hubungan pemberi dan penerima serta proses pengembangan kegiatannya (Saidi dan Abidin, 2004: 61). Hibah sosial bercirikan adanya hubungan donor-penerima yang diawali oleh suatu permintaan atau permohonan dan diarahkan sesuai dengan prioritas atau keinginan pemberi. Sementara hibah pembangunan bercirikan langkah proaktif kedua pihak dan kemampuan mereka mengelola program untuk memenuhi kebutuhan pembangunan daerah sasaran.
Kedua model ini pada dasarnya bukan merupakan hal baru di Indonesia, bahkan telah diadopsi dalam pola perencanaan pembangunan, yakni community development yang kemudian berkembang menjadi community empowerment. Keduanya menekankan pada kapasitas komunitas (masyarakat) untuk menangani permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan kekuatan yang dimilikinya. Dalam kondisi di mana krisis tengah terjadi dan kemampuan negara dalam mengatasi permasalahan menjadi sangat terbatas, maka yang diperlukan adalah pendekatan alternatif dalam membangkitkan kapasitas masyarakat. Francis Fukuyama, misalnya, menggunakan konsep modal sosial (social capital) untuk menjelaskan ikatan dalam relasi sosial yang berbasis pada kepercayaan di antara anggota masyarakat. Dalam modal sosial ini terkandung nilai-nilai yang diperlukan sebagai penghubung dan perekat berbagai kelompok masyarakat, sehingga ada kepekaan dan kesadaran sosial untuk saling membantu.
Kepekaan dan kesadaran sosial ini menjadi dasar bagi tumbuhnya kesalehan sosial, yang tidak hanya menyangkut relasi antara manusia dengan Penciptanya, tapi juga relasi horisontal antara manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan alam. Kesediaan untuk berempati, bersimpati, berbagi, dan berupaya membantu sesamanya yang berkekurangan atau terkena musibah merupakan bentuk-bentuk kesalehan sosial yang secara konkret mewujud dalam bentuk perilaku gotong-royong atau perilaku kedermawanan. Berbeda dengan gotong royong yang lebih menekankan pada sumbang tenaga, maka kedermawanan lebih menekankan pada sumbang dana atau finansial. Pada praktiknya, kedermawanan sosial ini dapat dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun oleh perusahaan, baik yang berorientasi pada agama maupun isu-isu sosial, seperti keberpihakan pada perempuan, anak-anak, kaum miskin, lingkungan hidup, dll. Bentuk-bentuk filantropi ini sangat beragam, mulai dari memberikan sumbangan dana, bantuan beasiswa, hingga corporate social responsibility yang dikelola perusahaan.


Pengelolaan Dana Filantropi
Dana-dana sosial atau dana filantropi secara umum diperoleh melalui berbagai sumbangan yang diberikan oleh individu, kelompok atau perusahaan. Biasanya dana ini dikelola oleh lembaga tersendiri. Bentuk lainnya adalah melalui yayasan yang dibentuk oleh perusahaan untuk mengelola dana dan kegiatan sosial. Perkembangan yang mutakhir saat ini telah memungkinkan dilakukannya pengumpulan dana melalui media massa bahkan internet. Namun demikian, kecanggihan dalam metode pengumpulan dana ini tidak selalu paralel dengan manajemen pengelolaan dan distribusi dana.
Pendistribusian dana sosial belum dilakukan secara merata di semua sektor. Sebagian besar pemanfaatan dana-dana sosial masih terfokus pada program atau kegiatan yang sifatnya charity, sementara program advokasi dan program lain belum mendapatkan dukungan dana yang maksimal. Hal ini dapat dilihat dari sasaran pendistribusian dana sosial yang dilakukan oleh lembaga sosial, media, lembaga penggalang dana berbasis agama, serta dana sosial perusahaan. Begitu juga dengan dana sosial yang disalurkan secara langsung oleh donatur individual.
Dana sosial juga belum bisa dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat penerimanya. Tujuan pemanfaatan dana tidak tercapai karena sasaran atau penerima dana tidak tepat, penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukan atau program yang direncanakan tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, dana yang seharusnya bisa lebih berkembang dan memberikan manfaat yang lebih besar terbuang percuma dan berubah menjadi dana konsumtif.
Menurut Saidi dan Abidin (2004: 134-136), tidak optimalnya pendayagunaan dana filantropi disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: pertama, pola menyumbang masyarakat yang bersifat langsung dan individual. Sebagian besar masyarakat masih lebih suka menyumbangkan dananya secara langsung kepada penerima daripada menyalurkannya lewat organisasi sosial. Selain itu, dari sisi donatur, ada kecenderungan untuk menyumbang kepada organisasi-organisasi yang program atau kegiatannya berkaitan erat dengan dirinya, seperti untuk pelayanan sosial, perbaikan kawasan perumahan dan kampung halamannya, dan sejenisnya. Sebaliknya organisasi yang bidang kegiatannya tidak berkaitan langsung dengan kepentingannya, seperti organisasi kesenian, lingkungan hidup, advokasi, hukum, dll. kurang mendapatkan dana. Sumbangan individual ini umumnya bersifat karitatif, sehingga sulit dikontrol, dikelola, dievaluasi, dan tidak sistematis. Donatur cenderung menyembunyikan identitas saat menyumbang dan kurang peduli dengan pemanfaatan dana sosial yang diberikannya. Padahal, dengan cara semacam ini, ternyata menimbulkan banyak masalah, antara lain menyulitkan lembaga sosial dalam membuat database donor, juga membuka peluang terjadinya penyelewengan.
Kedua, pemahaman ideologi yang sempit dan kurang tepat, baik oleh donatur maupun lembaga sosial menyebabkan sumbangan yang disampaikan hanya terfokus pada program-program penyantunan fakir miskin, anak yatim, panti jompo, korban bencana, dan sejenisnya. Sebaliknya, bagi lembaga sosial yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan, advokasi hukum dan HAM, perlindungan konsumen, atau pelestarian lingkungan jarang diberi sumbangan karena dianggap bukan golongan yang berhak mendapatkan sumbangan.
Ketiga, prioritas/pilihan program belum menjadi pertimbangan dalam memberikan sumbangan. Prioritas dalam memberikan sumbangan hanya diarahkan pada program-program darurat (crush program) seperti penanganan bencana atau penanganan kaum miskin/terlantar. Padahal, bentuk-bentuk donasi untuk program-program tersebut tidak menyelesaikan akar permasalahan dan berpotensi menimbulkan ketergantungan masyarakat.
Keempat, minimnya dukungan masyarakat terhadap beberapa program atau kegiatan juga terkait dengan minimnya upaya penggalangan dana di bidang pemberdayaan atau advokasi. LSM umumnya lebih suka meminta dana kepada lembaga donor daripada menggalang dana dari masyarakat. Akibatnya, timbul persepsi di kalangan masyarakat bahwa kegiatan advokasi bukan bagian dari persoalan masyarakat dan masyarakat tidak perlu mendanai kegiatan pemberdayaan atau advokasi karena mereka sudah mendapatkan dukungan dana dari lembaga donor asing.
Kelima, dana filantropi seringkali tidak dapat didayagunakan dengan baik karena rendahnya kapasitas dan akuntabilitas lembaga pengelolanya. Akibatnya, selain tidak berkembang dan produktif, juga terjadi penyimpangan dalam pemanfaatannya.
Keenam, lemahnya penegakan hukum juga memberi kontribusi terhadap tidak optimalnya pendayagunaan dana filantropi. Akibatnya, banyak dana yang tidak terserap oleh masyarakat yang memerlukan, sementara pelaku penyelewengan tetap bebas tidak dihukum.
Ketujuh, intervensi negara dalam pengelolaan dan pendayagunaan dana sosial juga menjadi salahsatu penghambat, bila intervensi ini dilakukan dengan cara yang tidak sehat, misalnya memaksa masyarakat menyumbang program atau organisasi tertentu yang tidak jelas akuntabilitasnya. Bentuk intervensi lainnya adalah memaksa lembaga sosial untuk memberikan hasil penggalangan dana untuk dikelola dan didistribusikan oleh pemerintah. Model semacam ini rentan dengan korupsi dan penyimpangan dalam distribusi kepada kelompok sasaran.


Mengupayakan Filantropi yang Efektif
Agar dana sosial dapat didayagunakan dengan optimal, maka perlu dilakukan sejumlah upaya untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga pengelola, mengatur peran pemerintah yang kondusif, serta mengubah pola filantropi masyarakat yang selama ini cenderung parsial.
Filantropi adalah alternatif dalam menciptakan keadilan sosial dan menghindarkan kesenjangan yang terjadi selama ini. Bila filantropi berjalan baik di negeri ini, dalam rangka mengganti peran negara yang tak berfungsi untuk menjamin kesejahteraan bagi warga negaranya, maka kecemburuan sosial bisa ditekan. Bila kecemburuan sosial bisa tekan, maka potensi-potensi yang mengarah kepada anarki bisa dikurangi.
Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan filantropi sebagai bentuk kesalehan sosial, maka dukungan pemerintah diperlukan melalui insentif pajak bagi organisasi nirlaba yang menghimpun dan mengelola dana serta pengurangan pajak bagi pihak donaturnya. Di sisi lain, juga perlu disusun kebijakan yang menjamin transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga penggalang dan pengelola dana, sehingga potensi penyimpangan dapat diminimalkan. Audit publik terhadap lembaga-lembaga pengelola dana dapat menjadi alternatif untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana sosial.
Perubahan dalam pola pikir masyarakat juga perlu dilakukan agar kegiatan filantropi tidak hanya sebatas kegiatan beramal yang temporer untuk menangani kasus-kasus bencana, tapi mulai diarahkan secara profesional dan berkesinambungan untuk program-program pembangunan jangka panjang. Agar filantropi berdampak pada keadilan sosial, paradigma charity dalam penggalangan dana perlu diubah agar tumbuh kesadaran masyarakat untuk memberikan donasi bagi program-program jangka panjang, misalnya beasiswa, tunjangan kesehatan, dll yang berdampak pada pemerataan akses pelayanan publik. Untuk melakukan hal ini, kampanye mengenai filantropi dan manfaatnya bagi pemerataan pembangunan harus segera dilakukan, baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Jalur pendidikan juga dapat digunakan untuk menanamkan kesadaran kedermawanan sejak dini dalam diri anak-anak.


Bagansiapi-api, 10 Juli 2007




Daftar Pustaka
Saidi, Zaim dan Hamid Abidin. 2004. Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktik Kedermawanan Sosial di Indonesia. Jakarta: Ford Foundation dan PIRAC.
Yani, Buni. 2004. “Filantropi dan Keadilan Sosial”. Artikel dalam Koran Republika, 19 Oktober.

*) Dipublikasikan pada Warta Bapeda Jabar Vol. 12 No. 3, Juli-September 2007

Senin, 11 Februari 2008

Politik Multikulturalisme: Strategi Memperkuat Wawasan Kebangsaan

Dede Mariana dan Caroline Paskarina

Pengantar
Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Arus globalisasi dan demokratisasi yang semakin kuat di akhir abad ke-20 membawa perubahan besar, termasuk mendorong kebangkitan identitas etnis dan golongan. Nasionalisme yang sempat menjadi simbol pemersatu menghadapi kolonialisme dan imperialisme mulai menurun popularitasnya. Di sisi lain, relasi kekuasaan pun mengalami pergeseran yang signifikan sebagai akibat dari berkembangnya demokratisasi, globalisasi, dan lokalisasi yang ditandai menguatnya tuntutan otonomi daerah. Demokratisasi membuka peluang bagi setiap kelompok masyarakat untuk menonjolkan identitasnya, sehingga muncul kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis identitas agama, etnis, budaya, bahkan gender. Relasi kekuasaan dalam negara pun mengalami pergeseran, sehingga negara diwajibkan untuk mengakomodasi beragam identitas tersebut untuk memelihara keseimbangan dan harmonisasi dalam relasi kekuasaan.
Fenomena glokalisasi yang muncul sebagai antitesis terhadap globalisasi terjadi di hampir seluruh belahan dunia, khususnya di negara-negara dengan komposisi penduduk yang beragam dari sisi kultural. Di tengah arus globalisasi yang memunculkan uniformitas dalam identitas sebagai warga global, berkembang keinginan dari kelompok-kelompok minoritas untuk memunculkan jati diri kulturalnya, agar identitas tersebut memperoleh pengakuan akan eksistensinya. Fenomena ini pun terjadi di Indonesia, apalagi setelah reformasi 1998, liberalisasi politik mewarnai seluruh dinamika politik, termasuk dalam hubungan pusat dan daerah. Tuntutan akan desentralisasi semakin kuat, khususnya berasal dari daerah-daerah kaya yang selama masa Orde Baru merasa diperlakukan tidak adil dalam hal perimbangan keuangan.
Sebagai sebuah entitas kenegaraan, Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.500 pulau dan dihuni 931 kelompok etnik, mulai dari Aceh di Sumatra sampai Asmat di Papua. Masing-masing kelompok etnik memiliki kebudayaannya sendiri dengan adat-istiadat, tradisi dan kesenian. Jika tidak dikelola dengan baik, keragaman budaya ini bisa menimbulkan konflik. Samuel Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation”. Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya.
Wacana etnisitas dan identitas lokal dijadikan sebagai alat politik untuk melakukan tawar-menawar dengan pemerintah pusat agar daerah memperoleh otonomi yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Bahkan, tidak hanya tuntutan otonomi luas, sejumlah daerah pun “menekan” pemerintah pusat akan memisahkan diri dari NKRI bila tidak dipenuhi tuntutannya. Sebagai kompromi terhadap tuntutan pemisahan diri tersebut, dibuatlah UU Otonomi Khusus untuk Nangroe Aceh Darusallam dan Papua, dengan pengaturan khusus untuk mengakomodasi tuntutan pengakuan identitas lokal di kedua daerah tersebut. Aceh dengan identitas ke-Islam-annya, dan Papua dengan identitas adatnya.
Selain itu, di sejumlah daerah pun berkembang kontroversi tentang wacana peraturan daerah berdasarkan Syariat Islam. Daerah-daerah lain yang mayoritas penduduknya beragama non-Muslim pun sempat memunculkan wacana sejenis. Bali, misalnya, memunculkan isu Ajeg Bali yang intinya ingin mengembalikan nilai-nilai adat dan budaya Bali sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan. Isu agama dan etnisitas mudah sekali dipolitisasi untuk memicu konflik di masyarakat. Sejumlah daerah, seperti Poso, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Lombok, dan Ambon menjadi contoh rentannya masyarakat menghadapi politisasi identitas etnis dan agama.
Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi pekerjaan yang cukup berat untuk membangun wawasan kebangsaan. Secara historis, Indonesia sebagai suatu entitas kebangsaan merupakan hal yang baru terbentuk ketika merdeka, sementara jauh sebelumnya, telah terdapat berbagai entitas etnisitas dengan identitasnya masing-masing, yang memiliki status dan kedaulatan sendiri. Nasionalisme Indonesia adalah nilai-nilai yang sengaja diformulasikan sebagai antitesis terhadap dominasi kolonialisme Belanda oleh sekelompok masyarakat yang sebelumnya memiliki identitas masing-masing yang terpisah (Purwanto, 2001: 244). Setelah Indonesia merdeka, salahsatu tugas utama dari negara adalah menciptakan fondasi nasional bagi dirinya sendiri, namun sangat rentan terhadap gejolak identitas. Adanya campur tangan negara yang sangat besar dalam proses pembentukan identitas kebangsaan pada negara yang baru itu mengakibatkan nasionalisme yang berkembang adalah nasionalisme negara dan bukan nasionalisme popular yang berakar kuat pada masyarakat Indonesia.
Pertentangan antara identitas etnis dan identitas nasional ini menjadi inti dari persoalan penguatan wawasan kebangsaan. Menguatnya identitas etnis merefleksikan surutnya loyalitas suatu kelompok etnis terhadap kesepakatan ikatan yang lebih besar (negara bangsa). Hal ini akan mengarah pada persoalan yang lebih krusial karena dapat melemahkan kohesi nasional atau soliditas nasional. Kohesi nasional merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor, sehingga kemampuan untuk memperkuat kohesi nasional ditentukan oleh kapasitas dalam menangani komplikasi berbagai persoalan kebangsaan secara serius dan komprehensif. Di sinilah wacana mengenai penguatan wawasan kebangsaan perlu diorientasikan pada pemaknaan ulang nasionalisme dan relevansinya dengan berbagai kecenderungan yang berkembang saat ini, seperti demokratisasi dan otonomi daerah, sehingga dapat dirumuskan pendekatan-pendekatan alternatif untuk memperkuat wawasan kebangsaan dengan tetap mengakomodasi beragam identitas masyarakat yang ada di Indonesia.


Wawasan Kebangsaan: Menjembatani Multi Identitas
Kata bangsa berasal dari bahasa Latin “nasci”, yang berarti dilahirkan. Secara akademik, para ahli tidak pernah berhasil menyepakati definisi “bangsa”. Pernyataan yang paling sederhana, menurut Emerson (dalam Isaacs, 1993: 228), bangsa adalah satu badan yang terdiri dari kumpulan orang-orang yang merasa mereka itu merupakan suatu bangsa. Oleh karena itu, wacana mengenai bangsa biasanya lebih banyak diarahkan pada proses terbentuknya sebuah bangsa, mempertanyakan mengapa kelompok orang bergabung menjadi sebuah bangsa. Dengan kata lain, pemahaman mengenai bangsa tidak hanya menyangkut definisi tentang bangsa, tapi juga proses transformasi dari kelompok orang menjadi sebuah bangsa.
Dalam literatur modern, konsepsi mengenai bangsa dan komitmen kebangsaan dipilah dalam dua pengertian (Smith, 1971: 193-198), yakni: pertama, kebangsaan dalam pengertian politik (political nation). Dalam pengertian ini, kebangsaan bersifat sukarela (voluntaristik). Rasa kebangsaaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat patriotisme. Komitmen pada kebangsaan ditentukan oleh kehendak para individu. Pilihan itu ditentukan oleh faktor-faktor subyektif dan politis.
Kedua, kebangsaan dalam pengertian kultural (cultural nation), di mana kebangsaan bersifat deterministik. Menjadi warga suatu negara bukanlah sebuah pilihan, tetapi ditentukan oleh alam dan sejarah. Komitmen kebangsaan ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor obyektif dan kultural. Rasa kebangsaan muncul karena setiap orang sebagai anggota masyarakat merasa perlu bergabung dan mengikatkan diri dengan kelompok lainnya dan membentuk sebuah entitas baru yang merangkul semua aspek kehidupan mereka. Entitas baru inilah yang disebut negara bangsa (nation state). Negara bangsa adalah kulminasi unit-unit politik dan entitas yang legal untuk melindungi dan mempertahankan penduduk dan wilayah mereka. Obyektivitas kebangsaan ini disahkan dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan memaksa, mengandung sanksi-sanksi yang dilaksanakan oleh aparat negara.
Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiannya. Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’entre) bangsa-bangsa di dunia. Dengan demikian rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang unik yang hanya ada dalam diri bangsa kita karena hal yang sama juga dialami bangsa-bangsa lain.
Bagaimana pun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, antar-pandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dengan benturan budaya dan kemudian bermetamorfosa dalam campuran budaya dan sintesanya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat dan kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan (Kartasasmita, 1994).
Persoalan mulai timbul manakala negara bangsa dan konsep wawasan kebangsaan hadir dalam wujud sebagai sebuah negara yang majemuk dan kompleks. Elemen kemajemukan ini berkaitan dengan apa yang disebut oleh Clifford Geertz (dalam Alfian, 1990: 13) sebagai primordial sentiment, lawan dari civil politics. Primordial sentiment atau attachments adalah sifat budaya dan tingkah laku pada suku (tribe), daerah (region), agama (religion), kelompok etnis (ethnic groups), dan pengelompokan-pengelompokan sejenisnya yang bersifat given. Hal ini dalam banyak hal justru telah menjadi dasar yang kuat dari suatu kekuasaan dan identitas karena mempunyai sifat pasti dan inheren. Dalam ikatan-ikatan sosial semacam ini, kehidupan kenegaraan dipandang sebagai persoalan keluarga, sementara kekuasaan dan identitas pribadi atau kelompok dilihat sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak menentukan. Keadaan ini kontras dengan civil politics yang memandang penting kinerja (performance) dan prestasi (merit).
Kontradiksi antara identitas etnis dan identitas kebangsaan ini secara teoretik dapat dijelaskan melalui dua pandangan (Purwanto, 2001: 246). Kelompok pertama yang melihat secara normatif berpendapat bahwa perbedaan identitas etnis dan kebangsaan merupakan sesuatu yang alami sesuai dengan identifikasi primordial dan loyalitas dari masing-masing kelompok yang memiliki persamaan dan perbedaan. Dalam pandangan kelompok ini, sebagian besar negara baru lebih banyak mengandung kategorisasi-kategorisasi etnis daripada bangsa. Sementara itu, menurut pendapat kelompok kedua, identitas etnis dan kebangsaan merupakan sebuah fenomena yang secara sosial dan ideologi diciptakan secara sengaja melalui manipulasi simbol, yang biasanya terjadi dalam kompetisi para elit untuk menguasai sumber dan hak. Ketika para elit dari berbagai kategori etnis tersebut berkompetisi untuk menguasai kesempatan-kesempatan baru yang muncul dari perkembangan masyarakatnya, mereka secara sengaja mendorong terjadinya transformasi etnis untuk membentuk identitas baru di dalam komunitas etnis sebagai cara yang dianggap paling efektif untuk mencapai tujuan.
Tahapan transformasi etnis berikutnya dari komunitas etnis ke kesadaran terhadap identitas kebangsaan hanya akan terjadi jika memenuhi dua syarat, yakni kebutuhan terhadap identitas itu disuarakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan adanya organisasi tertentuu yang mampu mencapai status khusus sehingga dapat menyatakan dirinya mewakili seluruh komunitas (Brass, 1991). Dalam pengertian ini, transformasi etnis dipahami sebagai proses yang kompleks dalam pembentukan identitas etnis dan kebangsaan. Dalam konteks politik, kebangsaan tidak semata-mata dihubungkan dengan kebutuhan terhadap sebuah negara yang mandiri, demikian pula bagi kelompok etnis, identitas tersebut tidak hanya dikaitkan dengan kebutuhan terhadap perbaikan dan penataan kembali dalam negara yang ada. Ketika sebuah kelompok etnis mulai mengorganisasikan diri dan bertindak secara kolektif melawan kelompok lain atau negara, kelompok etnis tersebut mulai mengalami proses transformasi etnis untuk membentuk identitas komunitas etnis. Proses transformasi etnis dari komunitas etnis menuju kesadaran kebangsaan terjadi apabila komunitas etnis itu membutuhkan tambahan otonomi politik atau negara yang terpisah. Nasionalisme yang mendasari munculnya kesadaran kebangsaan itu merupakan manifestasi dari kontradiksi dan konflik kepentingan daripada sekedar solidaritas antar atau di dalam kelompok.
Konsep nasionalisme sendiri dapat dibedakan ke dalam dua level, yakni (1) nasionalisme primer sebagai nasionalisme yang bersifat alami yang cakupannya adalah etnisitas dan (2) nasionalisme sekunder merupakan nasionalisme “rakitan” yang sifatnya supra etnis atau lintas etnis (Santoso, 2001: 268). Permasalahannya, selama ini upaya negara untuk mewujudkan nasionalisme sekunder tidak dibarengi dengan upaya yang serius untuk melebur berbagai etnisitas yang ada. Yang dilakukan justru adalah memarjinalkan aspek identitas tersebut melalui stigma SARA atau nasionalisme dalam arti sempit. Padahal, seperti yang telah dikemukakan, identitas merupakan faktor hakiki yang tidak mungkin dihilangkan oleh apa pun. Oleh negara, nasionalisme diperlakukan sebagai instrumen penyelenggaraan pemerintahan dan pencapaian tujuan negara, namun oleh masyarakat, nasionalisme bisa didayagunakan sebagai basis perlawanan terhadap negara. Inilah yang kemudian memicu bangkitnya etnonasionalisme sebagai paham kebangsaan yang berbasis pada sentimen etnis (agama, suku, ras). Etnonasionalisme juga dapat dipahami sebagai gerakan komunal dari sekelompok orang yang terkonsentrasi pada regio tertentu yang secara historis otonom dan telah melakukan upaya-upaya separatis (Gurr, 1995).
Kebangkitan etnonasionalisme ini merupakan bentuk konkret dari politik identitas yang dimaknai sebagai relasi kekuasaan dalam suatu masyarakat yang berdasarkan kultur, ras, agama, keturunan, sejarah, ataupun bahasa. Kekuasaan dalam hal ini adalah sesuatu hal yang pokok bagi kelompok masyarakat karena mengandung nilai-nilai yang mendasar bagi mereka untuk dipertahankan ataupun diperebutkan. Politik identitas sering juga diartikan sebagai sebuah bentuk karakter pengakuan jati diri yang merupakan bagian dari sebuah proses dinamika golongan etnis yang hadir dan tumbuh bersama dengan adanya sebuah institusi negara (state). Penonjolan serta pengakuan tersebut hadir serta menampakkan proses bentuk pengakuannya biasanya ketika ia tidak lagi menemukan bentuknya secara nyata, artinya ketika ia merasa menjadi bagian yang minoritas, terpinggirkan dan tidak lagi menemukan adanya sebuah bentuk pengakuan dirinya maupun identitas etnisitasnya, yang merupakan bagian dari adanya sebuah institusi organisasi apapun termasuk negara.
Indonesia memiliki karakteristik unik dalam hal ini, bahkan Clifford Geertz, seorang ahli antropologi mengatakan bahwa Indonesia sedemikian kompleksnya sehingga sulit melukiskan anatominya secara persis. Negeri ini bukan hanya multietnis, melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalis, dan seterusnya) (Geertz dalam Hardiman, 2003: viii). Artinya, negara Indonesia sesungguhnya adalah sebuah negeri yang tersusun dari berbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai. Karena itu, mengharapkan keanekaragaman tersebut kemudian akan menyatu membentuk satu identitas baru tidak hanya memerlukan waktu yang sangat panjang dan kesepakatan yang sangat kuat untuk dipatuhi bersama, tapi juga menjadi sulit terwujud karena pada dasarnya hasrat akan pengakuan identitas tiap-tiap kelompok tetap akan ada.
Suatu masyarakat yang sarat dengan perasaan primordial ini, menurut Geertz memerlukan suatu revolusi integratif, yaitu suatu gerak integrasi masyarakat ke dalam ikatan-ikatan kultural yang lebih luas, yang mendukung pemerintahan nasional. Tanpa adanya gerak integrasi semacam itu, bila timbul sedikit saja kekecewaan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan golongan akan berpotensi pada disintegrasi politik. Pemberian otonomi dan desentralisasi politik pada daerah tidak otomatis menjadi solusi untuk mempererat integrasi nasional. Bahkan sebaliknya memberi ruang bagi tumbuhnya semangat kedaerahan yang berlebihan. Hal ini terjadi karena pola hubungan antar etnis di Indonesia selama ini tidak dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam dan komprehensif mengenai pemaknaan terhadap karakteristik masing-masing etnis. Yang mengemuka justru pola-pola stereotip yang mengarah pada prasangka satu sama lain. Tidak ada mekanisme yang dapat mempersatukan etnis yang satu dengan etnis yang lain secara alamiah, bahkan mekanisme pasar sekaligus didasarkan atas etnisitas. Misalnya di daerah Nusa Tenggara Timur, pembagian kerja antara pedagang sayur dengan pedagang daging didasarkan atas etnisitasnya.
Di sisi lain, politik daerah yang dikembangkan pada era transisi ini belum menempatkan daerah sebagai ruang politik tetapi sebagai ruang kultural. Akibatnya, proses politik dan relasi kekuasaan di daerah pun didasarkan pada pola-pola hubungan primordial. Keinginan untuk dipimpin oleh putra daerah merupakan kewajaran dalam ruang kultural, tapi tidak dalam ruang politik karena ruang politik mensyaratkan persamaan hak-hak warga negara di mana pun ia berdomisili. Pemaknaan otonomi secara kultural memandang politik lokal sebagai kesatuan nilai, kultur, customs, adat istiadat dan bukan sebagai konsep politik. Perspektif ini juga mengakui kemajemukan masyarakat namun dalam arti sosio-kultural, di mana setiap masyarakat dan lokalitas adalah unik sehingga setiap masyarakat dan lokalitas memiliki hak-hak sosial, ekonomi, budaya, dan identitas diri yang berbeda dengan identitas nasional. Pemahaman inilah yang kemudian memunculkan berbagai kebijakan daerah yang bernuansa etnisitas.
Sedikit banyak karakteristik masyarakat Indonesia yang pluralistik dan terfragmentasi (Furnivall, 1967), turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya etnonasionalisme. Pola hubungan antar etnis dilakukan dalam proses yang linear tanpa adanya potensi bagi terjadinya cross-cutting afiliation. Akibatnya, tidak ada ruang bagi bertemunya berbagai etnis secara sosial. Sebagai misal, seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan Muslim, pasti akan bersekolah di pesantren atau sekolah yang berlatar agama (Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Alliyah, dsb), kemudian menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi Islam, dan secara sosial kemudian bergabung dengan organisasi-organisasi bernuansa Islami, seperti HMI, dll. Secara politik, berlakunya politik aliran menyebabkan sudah dapat dipastikan bahwa ia akan memilih partai Islam. Dengan demikian, jelaslah bahwa pola interaksi antar etnis menjadi sulit dilakukan karena tidak ada ruang baginya untuk mengenal etnis lain, apalagi memahami etnis lain di luar stereotip yang selama ini mengemuka. Maka yang kemudian timbul dan menguat adalah identitas etnisnya dan bukan identitas kebangsaan yang inheren dalam nasionalisme.
Upaya untuk menjembatani beragam identitas primordial dan selanjutnya mentransformasikannya membentuk identitas kebangsaan memerlukan proses nation building, sebagai upaya terencana dan berkelanjutan untuk menanamkan kesadaran pada kalangan yang luas dalam masyarakat, bahwa walaupun beraneka ragam latar belakang etnis, agama, atau budayanya, mereka adalah satu bangsa yang secara bersama-sama dapat membangun masa depan yang lebih baik di dalam suatu negara bangsa. Dalam konteks nation building ini, persoalan seputar identitas harus mendapatkan perhatian seiring dengan perkembangan wawasan kebangsaan karena nation building tidak berdiri sendiri, tetapi terkait erat dengan nasionalisme. Sasaran nasionalisme adalah lebih dari sekedar penyebarluasan kesadaran berbangsa melainkan terbentuknya suatu nation state yang akan menjadi wahana politik untuk mewujudkan tercapainya masa depan yang lebih baik bagi seluruh komponen bangsa, tanpa memandang perbedaan identitas.
Proses membangun wawasan kebangsaan ini memang tidak mudah karena sekaligus juga harus memberikan kesejahteraan material, di samping pemenuhan dimensi sosial-psikologis berupa identitas nasional yang positif dan membanggakan serta penghormatan terhadap hak-hak asasi dan identitas kultural asalnya. Kesulitan ini sebenarnya selalu mengemuka pada suatu bangsa yang dibentuk dari suatu kondisi yang multi-nation sekaligus arena pertemuan berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Kegagalan dalam pengelolaan kepentingan membuat pihak tertentu mempertimbangkan kembali keikutsertaannya. Perasaan tidak puas yang muncul atas distribusi kesejahteraan material akan membuat para anggotanya kehilangan daya tarik karena dirasakan negara bangsa ini tidak lagi memberikan kontribusi positif terhadap dirinya, apalagi jika ini diperparah dengan semakin berkembangnya perasaan tertindas dan diperlakukan tidak adil oleh penguasa.


Politik Multikulturalisme
Upaya membangun wawasan kebangsaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nation building ini memerlukan suatu strategi yang dapat menjembatani berbagai identitas yang ada di tengah masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Dalam konteks inilah berkembang wacana mengenai konsep multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan (Suparlan, 2002). Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan guna memahami dan mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk memahami multikulturalisme, diperlukan landasan pengetahuan berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan, dan mendukung keberadaan, serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme, sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komunitas, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996; Rex 1985; Suparlan 2002a).
Konsepsi multikulturalisme diawali oleh perlawanan sebagian warga Kanada terhadap ambisi dominasi dan hegemoni kelompok Anglo-Saxon dan Franco di pusat kekuasaan Kanada (Foster dan Stockley, 1989). Wacana multikulturalisme muncul dalam konteks penanganan aspirasi minoritas kultural tersebut. Masalah yang dihadapi cukup serius, yakni tuntutan-tuntutan dari kelompok-kelompok minoritas etnis, seperti kaum Afro-Amerika, Asia-Amerika, Indian, Feminis, dan kelompok-kelompok lainnya (Hardiman, 2003: x). Mereka ingin mendapatkan hak-hak mereka untuk ikut menentukan pengambilan keputusan-keputusan publik, seperti kebijakan sosial dan kurikulum pendidikan sekolah maupun perguruan tinggi. Dalam konteks politics of recognition, tuntutan tersebut dapat dipahami sebagai bagian dari penjabaran prinsip kesamaan, yakni kesamaan dalam pengakuan akan identitasnya.
Bhikhu Parekh (2001) mengatakan bahwa gerakan multikultural muncul pertama kali muncul di Kanada dan Australia sekitar tahun 1970-an, kemudian menyebar di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama. Menurut Parekh (2001) konsep multikulturalisme merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.
Dengan pengertian yang beragam dan kecenderungan perkembangan konsep dan praktik multikulturalisme, Parekh (1997) membedakan 5 (lima) macam multikulturalisme, yakni :
1. Isolasionis : menunjuk pada visi suatu masyarakat, di mana beragam kelompok budaya memiliki kehidupan yang otonom dan terlibat seminimal mungkin dalam interaksi mutual yang timbul sebagai keniscayaan dalam kehidupan bersama.
2. Akomodatif : menunjuk pada bentuk masyarakat, di mana terdapat budaya yang dominan tapi diimbangi dengan adanya penyesuaian dan perlindungan bagi kelompok-kelompok budaya minoritas.
3. Otonomis : menunjuk pada visi bentuk masyarakat di mana kelompok budaya mayoritas berupaya mencari persamaan dengan budaya dominan dan berusaha mencapai kehidupan yang otonom dalam kerangka kerja politik yang dapat diterima.
4. Kritikal atau interaktif : menunjuk pada bentuk masyarakat di mana kelompok-kelompok budaya berupaya menciptakan budaya kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perbedaan perspektif masing-masing, melalui upaya-upaya intelektual dan politik.
5. Kosmopolitan : mencoba melakukan perubahan terhadap ikatan-ikatan budaya sekaligus mewujudkan masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat pada budaya tertentu, tapi dapat saling berhubungan dengan bebas dalam interaksi antarbudaya dan mengembangkan budayanya sendiri.
Dalam konsep multikulturalisme, masyarakat dipandang memiliki kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Dalam mosaik tersebut, tercakup semua kebudayaan dari setiap kelompok etnik yang membentuk masyarakat tersebut. Multikulturalisme juga dapat dipahami sebagai pengakuan bahwa suatu masyarakat adalah beragam dan majemuk. Namun, keragaman itu hendaklah tidak diinterpretasikan secara tunggal.

Penutup: Peluang dan Tantangan
Politik multikulturalisme menawarkan kesetaraan bagi setiap anggota masyarakat dalam hal hak-hak kewarganegaraan dengan memberikan kesempatan bagi setiap kelompok masyarakat mengidentifikasikan dirinya masing-masing. Dengan kata lain, politik multikulturalisme memadukan sekaligus dua hal yang selama ini selalu dipertentangkan: kesetaraan dalam perbedaan. Gagasan ini dianggap mampu meredam konflik vertikal dan horizontal yang terjadi dalam masyarakat di negara-negara dengan tingkat heterogenitas tinggi akibat adanya tuntutan pengakuan atas keberadaan dan keunikan budaya kelompok etnis dalam masyarakat tersebut. Masyarakat multikultural, dengan demikian, memberikan keleluasaan bagi berbagai identitas kelompok untuk melaksanakan kehidupannya secara lebih otonom.
Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?
Arthur M. Schlesinger Jr dalam bukunya “Disuniting of America: Reflections on A Multicultural Society” (1992), menyatakan bahwa banyak negara di dunia pecah karena mereka gagal memberikan alasan-alasan yang kuat kepada orang-orang dari berbagai latar belakang etnis untuk melihat diri mereka sebagai bagian dari negara yang sama.
Hal inilah yang tampaknya sedang dialami oleh negara dan bangsa kita saat ini. Hampir tidak ada alasan lain selain alasan sejarah yang didengung-dengungkan mengapa suku-suku bangsa yang berdiam di bekas wilayah Hindia Belanda kemudian bersatu dalam negara bangsa Indonesia.
Pengalaman historis menghadapi “musuh bersama” kolonialisme berguna sebagai pembentuk kebanggaan bersama yang ikut membentuk identitas bersama. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan terjadinya krisis yang berkepanjangan, kesadaran ini mulai berubah. Meskipun disadari fakta bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang multietnis, namun pemaknaan bangsa tetap dibayangkan sebagai suatu substansi etnis yang homogen yang ditentukan oleh bahasa, tanah, sejarah, dan darah yang sama. Fakta ini seolah “terkubur” dalam model nation building yang sentralistis dan mengarah pada penyeragaman. Alih-alih memunculkan kesadaran akan identitas nasional yang disepakati bersama, yang muncul justru identitas yang dibentuk secara top down oleh negara dengan berasal dari budaya salahsatu identitas mayoritas.
Indonesia memang bukan Yugoslavia sehingga perang saudara dan disintegrasi menjadi ancaman, tetapi Indonesia juga bukan Kanada atau Amerika Serikat yang pengalaman berpolitik dan berdemokrasinya telah beratus-ratus tahun dijalani. Karena itu, mengadopsi politik multikulturalisme tanpa menyesuaikannya dengan konteks politik dan budaya Indonesia pun akan menjadi bumerang bagi upaya memperkuat wawasan kebangsaan. Suatu perbedaan mendasar perlu dipertimbangkan dalam menerapkan politik multikulturalisme. Politik ini muncul dalam konteks masyarakat liberal yang sudah memiliki sistem hak-hak yang mapan dan mentalitas demokratis yang vital (Hardiman, 2003: xvi). Di Indonesia, kita berhadapan dengan kondisi yang sebaliknya, masyarakat Indonesia justru memerlukan sebuah politik yang dapat mengatasi perspektif etnosentrisme karena belum berkembangnya sistem hak-hak, etos demokrasi, proseduralisme legal dan netralisme politis dalam tradisi kehidupan bernegara. Tindakan diskriminatif masih fenomenal dalam birokrasi negara, sehingga politik multikulturalisme, jika tidak hati-hati malah bisa melegitimasikannya. Juga dalam kondisi sistem negara hukum yang rapuh serta keterpurukan ekonomi, politik multikulturalisme mudah berkembang menjadi politik aliran yang dengan penuh kebencian meradikalkan dan mendramatisasikan segala perbedaan kecil, sehingga orang kehilangan perspektif keseluruhan (Hardiman, 2003: xvii).
Bahkan para pemikir multikulturalisme pun mengingatkan bahwa politik ini tidak boleh dilaksanakan sebagai semacam politik “cagar budaya” (Hardiman, 2003: xvii). Artinya, dalam negara hukum demokratis, kelompok-kelompok masyarakat seharusnya dibiasakan mengartikulasikan nilai-nilainya dan siap mengevaluasi tradisi mereka dalam suatu proses dialog yang rasional, apakah tradisi itu perlu diteruskan atau ditafsirkan kembali sesai dengan konteks zaman. Negara memang berkewajiban memberikan perlindungan agar tradisi dan nilai-nilai kultural tersebut tetap terpelihara, namun tidak bisa diberikan secara mutlak karena tidak hanya akan berubah menjadi politik “cagar budaya” yang mematikan kemajuan refleksivitas tradisi kelompok, melainkan juga menjadi politik sektarianisme dan fundamentalisme etnis atau religius yang akan memutlakan klaimnya dengan mengabaikan eksistensi kelompok-kelompok lain di dalam masyarakat multikultural.
Tantangan-tantangan tersebut tidak berarti bahwa politik multikulturalisme tidak punya peluang untuk tumbuh di Indonesia. Jika dipraktikan dengan tepat, politik multikulturalisme dapat mendukung integritas dan stabilitas politik dalam demokrasi dan pluralisme (Hardiman, 2003: xix). Secara umum, ada 3 pendekatan dalam mengelola keragaman budaya dan etnik di dunia: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas, ius soli dan civic concept of citizenship. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu. Contoh model ini adalah Perancis, di mana warga Perancis sebagai individu -apapun latar belakang etnis dan budayanya- dapat menikmati hak sipil, budaya dan bahasa.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang mengacu pada prinsip ius sanguinis, kebalikan dari ius soli. Nasionalitas-etnik berlandaskan pada kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri bangsa (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri bangsa akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing. Contoh model ini adalah Jerman, Jepang dan Singapura.
Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri. Contoh model ini adalah Australia dan Kanada yang cenderung akomodatif terhadap masalah kewarganegaraan sehingga dengan mudah mampu mengadopsi kebijakan politik multikulturalisme. Meskipun demikian, tidak semua kelompok di kedua negara tersebut menerima dengan legowo kebijakan multikulturalisme.
Pada tataran yang lebih operasional, dalam upaya mengembangkan masyarakat multikultur, United Nations for Education, Science and Culture Organization (UNESCO) menawarkan 6 (enam) program, yaitu: (1) mencegah terjadinya diskriminasi; (2) melakukan riset kebijakan mengenai pengelolaan masyarakat yang multibudaya dan multietnik; (3) melakukan pertemuan, pertukaran dan sirkulasi informasi sehingga tidak terjadi miskomunikasi; (4) menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengembangan masyarakat multikultur; (5) melakukan pendidikan mengenai hak-hak azasi manusia dan mendorong saling pemahaman antarbudaya; (6) memperkuat kapasitas masyarakat lokal (endogenous people) sehingga mampu mandiri dan sejajar dengan yang lainnya.
Dalam segala keterbatasan sistemik Indonesia, cukup alasan untuk bersikap optimis bahwa saling pengertian antaretnis dan antaragama di Indonesia dapat dikembangkan. Syarat penting untuk itu adalah adanya mayoritas yang liberal yang memberi pondasi bagi kebudayaan politik liberal. Mayoritas yang toleran ini menyediakan kondisi-kondisi yang serupa seperti yang terdapat di dalam masyarakat-masyarakat liberal yang mempraktikan demokrasi selama bertahun-tahun, sekaligus menyediakan dasar untuk mengembangkan sistem demokrasi yang mapan. Politik multikulturalisme di Indonesia harus dibangun dalam warna dasar mayoritas yang toleran ini. Dalam konteks demokratisasi dan globalisasi dewasa ini, masa depan toleransi dan sikap saling pengertian di antara etnis, agama, golongan, dan sejenisnya dalam masyarakat Indonesia akan banyak dipengaruhi oleh kemajuan golongan mayoritas dalam meliberalisasikan dirinya. Untuk itu, tidak hanya diperlukan semangat untuk belajar dari pengalaman negara-negara demokratis, tapi juga kesejahteraan yang merata yang memungkinkan perasaan ketidakadilan diminimalkan.
Dengan kata lain, diperlukan konsensus di antara seluruh komponen masyarakat Indonesia yang multikultur dan multiidentitas ini untuk menumbuhkan saling pengertian di antara komponen-komponen masyarakat yang beragam ini. Setidaknya, ada sejumlah upaya yang dapat dilakukan: pertama, menumbuhkan solidaritas emosional dalam bingkai kebangsaan, sehingga interaksi antaridentitas dapat menumbuhkan rasa kebersamaan. Untuk itu, perlu pemahaman budaya tiap-tiap kelompok sehingga masing-masing memiliki sensitivitas dalam berinteraksi dengan kelompok lain. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus diarahkan sedemikian rupa sehingga berbagai kebijakan yang dijalankan tidak menimbulkan perasaan termarginalisasi bagi suatu kelompok dengan identitas minoritas. Kedua, politik multikulturalisme harus dijabarkan dengan melakukan pengelolaan kehidupan bernegara yang mampu menumbuhkan solidaritas fungsional, yaitu solidaritas yang didasarkan pada ikatan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Di sini, peran kepemimpinan yang mampu berkomunikasi dan menjalin relasi lintas kelompok menjadi prakondisi penting untuk mewujudkan solidaritas fungsional. Ketiga, pengelolaan solidaritas nasional menuntut kecermatan dalam mengaktualisasikan liberalisme sebagai prakondisi tumbuhnya kesadaran multikultural. Dalam konsepsi liberalisme ada elemen penting yang tidak bisa dengan mudah dimaknai dalam bahasa Indonesia, yakni freedom dan liberty. Keduanya memiliki makna yang berbeda mendasar, namun dalam bahasa Indonesia hanya bisa diterjemahkan sebagai kebebasan. Freedom menunjuk pada kebebasan untuk memilih, sedangkan liberty menunjuk pada kebebasan untuk mengaktualisasi diri. Untuk kepentingan pengelolaan solidaritas nasional, kedua elemen tersebut perlu dikembangkan secara proporsional, agar tidak didominasi salahsatu makna.
Kebijakan pemerintah dalam hal budaya memainkan peran penting untuk mengelola perbedaan budaya di kalangan masyarakat. Isu kebijakannya adalah bagaimana pemerintah merespon pluralitas identitas. Dalam hal ini, negara (c.q. pemerintah) perlu berperan sebagai regulator identitas dominan dan sebagai mediator untuk mewujudkan keadilan dalam pengelolaan berbagai identitas yang ada. Sebagai regulator identitas dominan, pemerintah melalui kebijakannya menentukan budaya mana yang dimajukan dan mengasimilasikan budaya-budaya inferior agar tingkatannya naik, antara lain melalui kebijakan monokulturalisme/asimilasionis). Dalam perannya sebagai mediator, pemerintah melalui kebijakan yang dibuatnya menjamin agar semua budaya diperlakukan sama dan berpeluang mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Kebijakan disusun atas asumsi bahwa kesejahteraan dapat dicapai melalui beragam cara dan tidak ada satu pun komunitas yang berhak memonopolinya, melainkan perlu dikembangkan dialog antarbudaya.
Politik multikulturalisme sebagai doktrin atau kebijakan harus dioperasionalkan melalui seperangkat tindakan yang sistematis dan konsisten untuk melibatkan seluruh anggota masyarakat, bangsa, dan negara. Asumsinya, melalui partisipasi maka beraneka ragam ide dan gagasan dari berbagai latarbelakang budaya akan berpadu berkontribusi bagi kebijakan multikulturalisme. Jalur partisipasi tersebut dapat dikembangkan melalui media pendidikan. Pendidikan multikultural merupakan seperangkat konsep, pedoman perilaku, dan arena yang dapat diformulasikan secara resmi melalui kurikulum, regulasi, metode belajar-mengajar, kompetensi pengajar, serta hubungan sekolah dan masyarakat yang didesain dalam kerangka multikulturalisme.
Dengan demikian, pada dasarnya, politik multikulturalisme perlu diterjemahkan secara operasional melalui media pendidikan, khususnya pendidikan kewargaan (civic education) yang memungkinkan seluruh komponen masyarakat dari berbagai latar belakang identitas (budaya, etnis, agama, kepercayaan, dll) saling berinteraksi dan membangun saling pengertian akan perbedaan di antara mereka, namun sekaligus menerima perbedaan tersebut sebagai hal yang wajar. Dari sinilah akan muncul konsensus baru yang memperkuat identitas nasional, bukan sebagai identitas satu kelompok mayoritas atau dominan, tapi identitas yang merangkum seluruh keragaman tersebut.


Cisangkuy, 1 November 2007


DAFTAR PUSTAKA


Furnivall, J.S. 1967. Netherlands Indie : A Study of Plural Economy. Cambridge University Press.

Gurr, Ted Robert. 1995. Minorities at Risk : A Global View of Ethno-Political Conflicts. Washington DC: Institute of Peace Press.

Hardiman, F. Budi. 2003. “Belajar dari Politik Multikulturalisme”. Dalam Will Kymlicka. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES.

Kartasasmita, Ginandjar. 1994. “Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsaan”. Makalah, disampaikan pada Sarasehan Nasional Wawasan Kebangsaan di Jakarta, 9 Mei.

Kymlicka, Will. 2003. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES.

Mardiansyah, Arrochman. 2001. “Negara Bangsa dan Konflik Antar Etnis: Nasionalisme vs Etno-Nasionalisme”. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 4, Nomor 3, Maret.

Mutaqqin, Tatang. 2006. “Strategi Media dalam Membangun Masyarakat Multikultur”. Download dari www.bappenas.go.id

Purwanto, Bambang. 2001. “Memahami Kembali Nasionalisme Indonesia”. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 4, Nomor 3, Maret.

Rukendi, Cecep. 2003. “Menyelamatkan Indonesia dengan Kontrak Sosial Baru”. Dalam Sinar Harapan, 28 Juli.

Santoso, Purwo. 2001. “Merajut Kohesi Nasional: Etno-Nasionalisme dan Otonomi Daerah dalam Proses Demokratisasi”. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 4, Nomor 3, Maret.

Sunarto, Kamanto, Russell Hiang-Khng Heng, Achmad Fedyani Saifuddin (eds). 1997. Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia Stepping into the Unfamiliar. Jakarta: UI Press.

Suparlan, Pasurdi. 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”. Makalah, disampaikan dalam Sesi Pleno I pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: ‘Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural’, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli.


*) Dipublikasikan dalam Buku "Tantangan Pembangunan: Dinamika Pemikiran Seskoad Edisi Keempat Belas". Bandung: Forum Pengkajian Seskoad, 2007.