Kemarin,ada berita kontroversial tentang wisata kemiskinan di Jakarta. Sebenarnya berita tentang itu sudah pernah ditayangkan di salahsatu televisi swasta beberapa bulan sebelumnya. Tapi, baru sekarang memancing perdebatan. Para elit politik, pemerintah, bahkan seorang artis merasa keberatan dengan wisata kemiskinan itu karena dianggap merendahkan harga diri bangsa. Dengan mengutip kasus India, sang artis mencontohkan protes warga India ketika film Slumdorg Millionaire ditayangkan karena dianggap mengeksploitasi kemiskinan India. Padahal, aktor utama yang bermain di film itu memang berasal dari daerah miskin di India.
Saya jadi teringat isu wisata kemiskinan ketika hari ini melewati daerah Cipeundeuy. Kereta Lodaya yang saya tumpangi kebetulan berisi rombongan turis asing dari Belgia. Sepanjang perjalanan, para turis itu sibuk memotret keindahan pemandangan. Ketika kereta berhenti cukup lama di Cipeundeuy, pemandangan menarik terjadi. Warga setempat, kebanyakan anak-anak usia sekolah dan ibu-ibu sambil mengendong bayinya menadahkan tangan, meminta uang pada para turis tersebut. Seorang ibu bahkan mendekat ke jendela kereta menadahkan tangan sambil menunjuk-nunjuk bayinya. Seolah ingin mengatakan minta uang untuk memberi makan anaknya. Sang turis lantas memotret adegan itu tanpa memberi uang karena memang jendela kereta yang tertutup tidak memungkinkannya.
Melihat pemandangan itu, terbersit dalam pikiran jangan-jangan kita memang perlu wisata kemiskinan. Tanpa ada wisata kemiskinan pun, ternyata warga di sepanjang jalur kereta api sudah berinisiatif sendiri mengemis atau berjualan asongan. Setiap kali saya berkereta ke Jakarta, Yogya, atau Surabaya, pemandangan serupa selalu terjadi. Apalagi bila kebetulan duduk di kelas ekonomi atau bisnis. Para pedagang asongan, pengamen, dan pengemis dengan giatnya bekerja mondar-mandir di sepanjang gerbong. Teriakan-teriakan 'mijon...mijon..., kopi..., lanting..., dan nasi ayam' bahkan sudah menjadi ciri khas perjalanan KA ke arah Jawa.
Jalur kereta api ternyata tidak hanya menyuguhkan keindahan pemandangan, tapi juga realitas kemiskinan warga. Masih sempatkah para pejabat melihat realitas itu ketika rute perjalanan dinas mereka lebih banyak melalui jalan tol atau pesawat? Tidak heran bila para elit yang mengomentari wisata kemiskinan itu merasa keberatan karena mungkin mereka tidak melihat sendiri kehidupan sehari-hari warga di sepanjang jalur kereta itu.
Wisata kemiskinan sebenarnya bukan hanya ada di Indonesia. Sebuah stasiun televisi lokal di Bandung pernah menayangkan film dokumenter berjudul 'Journey to the Heart' yang berkisah tentang program wisata ke sebuah desa terpencil di Amerika Latin. Di sana, para turis yang sebelumnya telah menjalani diklat, harus melaksanakan program pemberdayaan masyarakat lokal dengan membantu membuatkan kompor tanah liat yang layak. Alasannya, rumah-rumah penduduk di sana hanya punya kompor sederhana yang asapnya menyebar ke seluruh rumah, sehingga tidak sehat. Film dokumenter ini menggambarkan perjuangan para turis untuk bisa diterima warga setempat, membantu mereka, dan akhirnya ketika program berakhir, para turis dilepas pulang dengan tangis warga setempat. Ada ikatan yang terbentuk antara turis dan warga setempat. Ada program nyata yang diberikan para turis itu bagi warga lokal. Mungkin tidak otomatis menghilangkan kemiskinan di sana, tapi cukup membangkitkan kesadaran pemberdayaan warga setempat.
Program sejenis mungkin bisa diadaptasi di Indonesia. Kemiskinan adalah realitas kita bersama. Para elit mungkin merasa tersinggung dengan wisata kemiskinan. Tapi, bagaimana dengan para warga, para ibu, bahkan anak-anak di sepanjang jalur KA itu yang tidak segan-segan mengemis? Apakah rakyat kita sudah tidak punya harga diri?
Kemiskinan dan keterdesakan keadaan membuat banyak masyarakat berperilaku seperti itu. Jangankan mereka yang benar-benar miskin, kadang-kadang kelas menengah pun bermain dengan cara yang sama. Ada aktivis LSM mencari proyek di luar kantor karena aktivitasnya di lembaga tsb tidak menghasilkan uang, padahal ada keluarga yang harus ditanggungnya. Ada ormas yang bersusah payah minta bantuan dana pada pemerintah untuk kegiatan-kegiatannya. Ada yang berebut proyek untuk bisa meningkatkan taraf hidup. Ada juga yang bertransaksi untuk mendapat jabatan.
Semua dipaksa bermental miskin karena tidak ada akses yang sama untuk berusaha. Sumber-sumber daya dimiliki oleh sekelompok elit dan hanya mereka yang dekat dengan lingkaran kekuasaan bisa mencicipi madu kesejahteraan. Mereka yang ingin ikut menikmati madu itu harus bisa mencari patron yang bisa meneteskan madu itu, meski untuk itu harus saling sikut bahkan 'menghiba' agar dikasihani. Tidak ada persaingan berbasis kompetensi untuk memperoleh akses sumber daya. Karenanya, kesejahteraan tidak berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan atau kompetensi. Mereka yang gagal dalam persaingan mendapat patron terpaksa mencari celah sendiri di tengah ketidakpastian akses, atau akhirnya bergabung dengan mereka yang berada di sepanjang jalur KA tadi.
Selama kondisi ini masih berlanjut, tidak mustahil wisata kemiskinan akan jadi sumber devisa potensial bagi negara. Tapi, tegakah kita membiarkan keadaan ini? Kesejahteraan tidak akan pernah diberikan, tapi harus direbut !
Selamat hari kebangkitan nasional. Mudah-mudahan ini jadi momen awal untuk memperjuangkan akses kesejahteraan yang merata bagi rakyat.
Tasikmalaya, 19 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar