Caroline Paskarina*)
DPR kembali mengejutkan publik dengan mewacanakan perlunya dana aspirasi sejumlah Rp 15 milyar per anggota dewan. Rencananya, uang tersebut akan digunakan oleh para anggota dewan untuk menjaring aspirasi rakyat di daerah pemilihannya, sekaligus untuk mengatasi kesenjangan pembangunan di daerah-daerah di Indonesia. Sepintas, gagasan ini terdengar begitu mulia, apalagi Indonesia memang tengah menghadapi masalah kesenjangan kesejahteraan yang begitu kentara. Tapi, di tengah ketidakpercayaan publik yang tinggi akibat maraknya kasus-kasus korupsi, gagasan itu justru dipertanyakan efektivitasnya. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi keraguan publik, mulai dari sulitnya pertanggungjawaban administratif penggunaan dana tersebut hingga soal resiko money politics.
Diskursus yang berkembang menyandingkan dua isu yang sebenarnya kontradiktif, yang satu adalah penjaringan aspirasi (konstituen) dan yang lainnya adalah pemerataan kesejahteraan. Penjaringan aspirasi konstituen meliputi lingkup yang terbatas, sedangkan pemerataan kesejahteraan menjangkau lingkup yang sangat luas. Pemerataan kesejahteraan akan berdampak bagi kehidupan publik secara keseluruhan, sebaliknya penjaringan aspirasi hanya berdampak pada kelompok konstituen yang diwakili. Menariknya, ketika kedua isu ini disandingkan, yang terungkap justru fakta bahwa pola relasi kekuasaan dalam perwujudan kesejahteraan, ternyata belum berubah meskipun reformasi politik telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.
Relasi Kekuasaan dalam Distribusi Kesejahteraan
Nesadurai (2004) mengungkapkan adanya keterkaitan antara konteks relasi kekuasaan dengan distribusi kesejahteraan. Menurutnya, di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, para elit politik memperoleh dan mempertahankan legitimasi kekuasaannya melalui dua cara, yakni melalui kemampuan mewujudkan kesejahteraan bagi publik dan dengan cara memelihara kohesivitas di kalangan pendukungnya. Pada praktiknya, distribusi kesejahteraan terutama dilakukan melalui cara kedua, di mana para elit politik menyalurkan sumber-sumber daya, baik berupa materi maupun akses terhadap pengambilan kebijakan, kepada para pendukungnya. Distribusi ini diarahkan tidak hanya bagi para elit politik dan pengusaha domestik, tapi juga bagi kelompok-kelompok sosial non-elit yang berpotensi menjadi basis massa bagi penguasa tersebut.
Dalam konteks relasi kekuasaan yang bersifat patron-klien, pola distribusi kesejahteraan tidak pernah berlangsung secara terbuka. Akibatnya, kesejahteraan menjadi sebuah komoditas kelompok (club goods) yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki akses pada lingkaran kekuasaan. Sebaliknya, sekalipun ada upaya para elit penguasa untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat umum, tapi proporsinya tidak setara dengan yang disebarkan pada kliennya. Kesenjangan ini tergambar dari pilihan kebijakan pembangunan maupun penganggaran yang selama ini terjadi di Indonesia, sehingga pertumbuhan ekonomi masih tetap berlangsung di kawasan-kawasan yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Efektifkah Dana Aspirasi?
Wacana tentang dana aspirasi per daerah pemilihan bersumber dari praktik yang biasa dilakukan di negara-negara Amerika dan Eropa dengan sistem pemilihan distrik. Selain itu, tradisi kaderisasi kepemimpinan di sana telah melembaga, sehingga setiap orang yang akan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, harus benar-benar mengenal daerah pemilihannya secara detil. Tradisi ini belum sepenuhnya terlembaga di Indonesia yang cenderung mengedepankan popularitas ketimbang kinerja dan rekam jejak seorang calon. Karena itu, jika mekanisme dana aspirasi akan diterapkan di Indonesia, yang paling berpeluang untuk menikmatinya adalah mereka yang menjadi klien dari para anggota legislatif tersebut. Apalagi, anggota legislatif dan/atau parpol tidak selalu memiliki data yang valid dan aktual tentang para konstituennya, sehingga peluang salah sasaran bahkan money politics menjadi lebih tinggi. Kegagalan skema dana aspirasi di Sumatra Barat, misalnya, membuktikan rentannya penyelewengan dana aspirasi untuk kepentingan pemeliharaan relasi patron-klien.
Dalam konteks relasi kekuasaan yang masih bercorak patrimonial, distribusi kesejahteraan tidak akan terwujud secara merata. Karena itu, jika tujuan akhirnya adalah pemerataan kesejahteraan, bukan dana aspirasi solusinya. Dana aspirasi dapat mengoptimalkan fungsi dewan dalam melakukan artikulasi kepentingan, bahkan dapat memperkuat hubungan antara anggota dewan dengan konstituennya selama diimbangi dengan skema penyaluran dana aspirasi yang akuntabel. Tapi, skema dana aspirasi tidak akan bisa menyelesaikan masalah pemerataan kesejahteraan yang sesungguhnya bersifat politik karena menyangkut komitmen politik penguasa untuk memilih kebijakan yang menempatkan kesejahteraan sebagai barang publik, bukan komoditas milik kelompok tertentu.
Prioritas yang harus dilakukan adalah mengubah relasi kekuasaan patrimonial dengan memperluas akses partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan, sehingga publik dapat menekan pemerintah untuk mau berinvestasi pada sektor-sektor yang dapat mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi, meskipun tidak menghasilkan keuntungan dalam waktu dekat, seperti infrastruktur dan investasi sosial. Harus ada keterbukaan bagi publik untuk mengawasi jalannya pembangunan dan penganggaran, sehingga penyimpangan yang terjadi dapat diminimalkan. Keterbukaan dan partisipasi ini akan memberikan peluang yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh sumber-sumber daya, sehingga ia tidak perlu lagi mencari patron untuk bisa sejahte
*) Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar