Selasa, 26 Februari 2008

Filantropi untuk Keadilan Sosial: Mungkinkah?

Pengantar
Awal abad ke-21 bagi bangsa Indonesia menjadi periode yang tidak dapat dilupakan. Banyak peristiwa yang mengubah perjalanan bangsa Indonesia terjadi pada periode ini, mulai dari krisis moneter, reformasi, peralihan kekuasaan, demokratisasi, iklim kebebasan yang makin luas, perubahan sosial budaya, hingga maraknya bencana alam dan sosial terjadi selama periode ini. Kemiskinan dan kesenjangan sosial yang selama ini seolah ditutupi terbuka luas akibat kebebasan arus informasi. Terjadinya rangkaian bencana, tsunami hingga lumpur Lapindo, semakin menambah tingkat kemiskinan masyarakat.
Kondisi ini memicu bangkitnya kesadaran bahwa ternyata hasil pembangunan selama 32 tahun lebih tidak cukup merata dinikmati rakyat Indonesia. Kesadaran ini mendorong bangkitnya gerakan-gerakan kedermawanan untuk membantu mengatasi beragam persoalan sosial di masyarakat. Sebenarnya gerakan kedermawanan atau yang sekarang populer disebut filantropi, bukanlah hal baru karena masyarakat Indonesia sudah mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari tradisi dan nilai keagamaan yang dianut.
Dari sisi tradisi, kita mengenal adanya tradisi berderma di kalangan perantau untuk mengirimkan sebagian penghasilannya untuk membangun kampung halamannya. Tradisi ini dikenal di kalangan perantau Minang, Nias, Jawa yang merantau di berbagai daerah di Indonesia, hingga mereka yang merantau ke negeri orang. Remittance yang diberikan oleh para tenaga kerja Indonesia menjadi salahsatu sumber dana yang banyak mendorong kemajuan di berbagai desa di Indonesia.
Dari sisi praktik nilai keagamaan, kita mengenal perilaku kedermawanan ini dalam bentuk akumulasi dana umat untuk kegiatan-kegiatan sosial. Dana-dana zakat, infak, dan sedekah yang dikelola dengan manajemen modern ternyata dapat membantu menangani masalah keterbatasan dana pendidikan, kesehatan, dll untuk umat Islam. Demikian pula dana-dana kolekte dan perpuluhan yang dikelola gereja sejak lama menjadi sumber utama untuk pembiayaan kegiatan operasional gereja dan kegiatan sosial lainnya. Demikian pula sumbangan finansial dan nonfinansial yang diberikan melalui berbagai yayasan dan organisasi keagamaan banyak dimanfaatkan untuk memberikan berbagai pelayanan bagi masyarakat miskin.
Meski demikian, pola kedermawanan (filantropi) tersebut, baik yang berbasis tradisi maupun agama, belum secara optimal dikelola. Di Indonesia, faktor agama menjadi motif utama bagi seseorang untuk menyumbang, sehingga kegiatan berderma biasanya ada "musim panen" menjelang hari-hari raya (Idul Fitri atau Natal). Di sisi lain, lemahnya kepercayaan (trust) menyebabkan kesenjangan antara potensi sumbangan dalam masyarakat dengan jenis serta jumlah lembaga sosial yang menerimanya. Hasil riset Public Interest Research and Advocacy Center (2001) menunjukkan bahwa belum optimalnya akumulasi dana filantropi disebabkan oleh belum adanya kepercayaan dari masyarakat untuk menyumbangkan dana melalui lembaga penggalang dana.
Kendala-kendala tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan dana-dana filantropi masih bersifat sektarian dan parsial, belum banyak dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih luas cakupannya, seperti pemberdayaan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup, dll). Terbatasnya dana yang dikelola LSM akibat rendahnya kepercayaan masyarakat menjadi penyebab belum optimalnya daya jangkau pemanfaatan dana. Hal inilah yang memunculkan pertanyaan sejauhmana kesalehan sosial dalam bentuk perilaku filantropi ini dapat berdampak pada upaya peningkatan keadilan sosial.
Padahal, berkembangnya wacana kesalehan sosial tentunya diarahkan untuk membangkitkan kepedulian dan tindakan aksi yang secara konkret dapat membantu mengatasi masalah-masalah sosial di masyarakat. Bagaimana seharusnya dana-dana filantropi itu dikelola agar daya jangkaunya lebih luas? Bagaimana seharusnya pemerintah daerah berperan dalam hal ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dibahas dalam uraian berikut ini.


Memahami Kedermawanan Sosial (Filantropi)
Istilah kedermawanan diartikan sebagai perpindahan sumber daya secara sukarela untuk tujuan beramal, sosial, dan kemasyarakatan yang terdiri dari 2 (dua) bentuk utama, yakni pendayagunaan hibah sosial dan pembangunan (Gisela dalam Saidi dan Abidin, 2004: 61). Selanjutnya, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hibah sosial adalah bantuan kepada suatu organisasi nirlaba untuk kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, amal, atau kegiatan lain yang melayani kemaslahatan masyarakat dengan hak pengelolaan hibah sepenuhnya pada penerima. Sedangkan yang dimaksud dengan hibah pembangunan adalah bantuan selektif kepada organisasi nirlaba yang menjalankan suatu kegiatan atau agenda yang sejalan dengan organisasi pemberi bantuan.
Definisi tersebut menunjukkan kriteria nirlaba sebagai ciri utama dari kedermawanan. Ciri yang membedakan adalah pada hubungan pemberi dan penerima serta proses pengembangan kegiatannya (Saidi dan Abidin, 2004: 61). Hibah sosial bercirikan adanya hubungan donor-penerima yang diawali oleh suatu permintaan atau permohonan dan diarahkan sesuai dengan prioritas atau keinginan pemberi. Sementara hibah pembangunan bercirikan langkah proaktif kedua pihak dan kemampuan mereka mengelola program untuk memenuhi kebutuhan pembangunan daerah sasaran.
Kedua model ini pada dasarnya bukan merupakan hal baru di Indonesia, bahkan telah diadopsi dalam pola perencanaan pembangunan, yakni community development yang kemudian berkembang menjadi community empowerment. Keduanya menekankan pada kapasitas komunitas (masyarakat) untuk menangani permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan kekuatan yang dimilikinya. Dalam kondisi di mana krisis tengah terjadi dan kemampuan negara dalam mengatasi permasalahan menjadi sangat terbatas, maka yang diperlukan adalah pendekatan alternatif dalam membangkitkan kapasitas masyarakat. Francis Fukuyama, misalnya, menggunakan konsep modal sosial (social capital) untuk menjelaskan ikatan dalam relasi sosial yang berbasis pada kepercayaan di antara anggota masyarakat. Dalam modal sosial ini terkandung nilai-nilai yang diperlukan sebagai penghubung dan perekat berbagai kelompok masyarakat, sehingga ada kepekaan dan kesadaran sosial untuk saling membantu.
Kepekaan dan kesadaran sosial ini menjadi dasar bagi tumbuhnya kesalehan sosial, yang tidak hanya menyangkut relasi antara manusia dengan Penciptanya, tapi juga relasi horisontal antara manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan alam. Kesediaan untuk berempati, bersimpati, berbagi, dan berupaya membantu sesamanya yang berkekurangan atau terkena musibah merupakan bentuk-bentuk kesalehan sosial yang secara konkret mewujud dalam bentuk perilaku gotong-royong atau perilaku kedermawanan. Berbeda dengan gotong royong yang lebih menekankan pada sumbang tenaga, maka kedermawanan lebih menekankan pada sumbang dana atau finansial. Pada praktiknya, kedermawanan sosial ini dapat dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun oleh perusahaan, baik yang berorientasi pada agama maupun isu-isu sosial, seperti keberpihakan pada perempuan, anak-anak, kaum miskin, lingkungan hidup, dll. Bentuk-bentuk filantropi ini sangat beragam, mulai dari memberikan sumbangan dana, bantuan beasiswa, hingga corporate social responsibility yang dikelola perusahaan.


Pengelolaan Dana Filantropi
Dana-dana sosial atau dana filantropi secara umum diperoleh melalui berbagai sumbangan yang diberikan oleh individu, kelompok atau perusahaan. Biasanya dana ini dikelola oleh lembaga tersendiri. Bentuk lainnya adalah melalui yayasan yang dibentuk oleh perusahaan untuk mengelola dana dan kegiatan sosial. Perkembangan yang mutakhir saat ini telah memungkinkan dilakukannya pengumpulan dana melalui media massa bahkan internet. Namun demikian, kecanggihan dalam metode pengumpulan dana ini tidak selalu paralel dengan manajemen pengelolaan dan distribusi dana.
Pendistribusian dana sosial belum dilakukan secara merata di semua sektor. Sebagian besar pemanfaatan dana-dana sosial masih terfokus pada program atau kegiatan yang sifatnya charity, sementara program advokasi dan program lain belum mendapatkan dukungan dana yang maksimal. Hal ini dapat dilihat dari sasaran pendistribusian dana sosial yang dilakukan oleh lembaga sosial, media, lembaga penggalang dana berbasis agama, serta dana sosial perusahaan. Begitu juga dengan dana sosial yang disalurkan secara langsung oleh donatur individual.
Dana sosial juga belum bisa dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat penerimanya. Tujuan pemanfaatan dana tidak tercapai karena sasaran atau penerima dana tidak tepat, penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukan atau program yang direncanakan tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, dana yang seharusnya bisa lebih berkembang dan memberikan manfaat yang lebih besar terbuang percuma dan berubah menjadi dana konsumtif.
Menurut Saidi dan Abidin (2004: 134-136), tidak optimalnya pendayagunaan dana filantropi disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: pertama, pola menyumbang masyarakat yang bersifat langsung dan individual. Sebagian besar masyarakat masih lebih suka menyumbangkan dananya secara langsung kepada penerima daripada menyalurkannya lewat organisasi sosial. Selain itu, dari sisi donatur, ada kecenderungan untuk menyumbang kepada organisasi-organisasi yang program atau kegiatannya berkaitan erat dengan dirinya, seperti untuk pelayanan sosial, perbaikan kawasan perumahan dan kampung halamannya, dan sejenisnya. Sebaliknya organisasi yang bidang kegiatannya tidak berkaitan langsung dengan kepentingannya, seperti organisasi kesenian, lingkungan hidup, advokasi, hukum, dll. kurang mendapatkan dana. Sumbangan individual ini umumnya bersifat karitatif, sehingga sulit dikontrol, dikelola, dievaluasi, dan tidak sistematis. Donatur cenderung menyembunyikan identitas saat menyumbang dan kurang peduli dengan pemanfaatan dana sosial yang diberikannya. Padahal, dengan cara semacam ini, ternyata menimbulkan banyak masalah, antara lain menyulitkan lembaga sosial dalam membuat database donor, juga membuka peluang terjadinya penyelewengan.
Kedua, pemahaman ideologi yang sempit dan kurang tepat, baik oleh donatur maupun lembaga sosial menyebabkan sumbangan yang disampaikan hanya terfokus pada program-program penyantunan fakir miskin, anak yatim, panti jompo, korban bencana, dan sejenisnya. Sebaliknya, bagi lembaga sosial yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan, advokasi hukum dan HAM, perlindungan konsumen, atau pelestarian lingkungan jarang diberi sumbangan karena dianggap bukan golongan yang berhak mendapatkan sumbangan.
Ketiga, prioritas/pilihan program belum menjadi pertimbangan dalam memberikan sumbangan. Prioritas dalam memberikan sumbangan hanya diarahkan pada program-program darurat (crush program) seperti penanganan bencana atau penanganan kaum miskin/terlantar. Padahal, bentuk-bentuk donasi untuk program-program tersebut tidak menyelesaikan akar permasalahan dan berpotensi menimbulkan ketergantungan masyarakat.
Keempat, minimnya dukungan masyarakat terhadap beberapa program atau kegiatan juga terkait dengan minimnya upaya penggalangan dana di bidang pemberdayaan atau advokasi. LSM umumnya lebih suka meminta dana kepada lembaga donor daripada menggalang dana dari masyarakat. Akibatnya, timbul persepsi di kalangan masyarakat bahwa kegiatan advokasi bukan bagian dari persoalan masyarakat dan masyarakat tidak perlu mendanai kegiatan pemberdayaan atau advokasi karena mereka sudah mendapatkan dukungan dana dari lembaga donor asing.
Kelima, dana filantropi seringkali tidak dapat didayagunakan dengan baik karena rendahnya kapasitas dan akuntabilitas lembaga pengelolanya. Akibatnya, selain tidak berkembang dan produktif, juga terjadi penyimpangan dalam pemanfaatannya.
Keenam, lemahnya penegakan hukum juga memberi kontribusi terhadap tidak optimalnya pendayagunaan dana filantropi. Akibatnya, banyak dana yang tidak terserap oleh masyarakat yang memerlukan, sementara pelaku penyelewengan tetap bebas tidak dihukum.
Ketujuh, intervensi negara dalam pengelolaan dan pendayagunaan dana sosial juga menjadi salahsatu penghambat, bila intervensi ini dilakukan dengan cara yang tidak sehat, misalnya memaksa masyarakat menyumbang program atau organisasi tertentu yang tidak jelas akuntabilitasnya. Bentuk intervensi lainnya adalah memaksa lembaga sosial untuk memberikan hasil penggalangan dana untuk dikelola dan didistribusikan oleh pemerintah. Model semacam ini rentan dengan korupsi dan penyimpangan dalam distribusi kepada kelompok sasaran.


Mengupayakan Filantropi yang Efektif
Agar dana sosial dapat didayagunakan dengan optimal, maka perlu dilakukan sejumlah upaya untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga pengelola, mengatur peran pemerintah yang kondusif, serta mengubah pola filantropi masyarakat yang selama ini cenderung parsial.
Filantropi adalah alternatif dalam menciptakan keadilan sosial dan menghindarkan kesenjangan yang terjadi selama ini. Bila filantropi berjalan baik di negeri ini, dalam rangka mengganti peran negara yang tak berfungsi untuk menjamin kesejahteraan bagi warga negaranya, maka kecemburuan sosial bisa ditekan. Bila kecemburuan sosial bisa tekan, maka potensi-potensi yang mengarah kepada anarki bisa dikurangi.
Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan filantropi sebagai bentuk kesalehan sosial, maka dukungan pemerintah diperlukan melalui insentif pajak bagi organisasi nirlaba yang menghimpun dan mengelola dana serta pengurangan pajak bagi pihak donaturnya. Di sisi lain, juga perlu disusun kebijakan yang menjamin transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga penggalang dan pengelola dana, sehingga potensi penyimpangan dapat diminimalkan. Audit publik terhadap lembaga-lembaga pengelola dana dapat menjadi alternatif untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana sosial.
Perubahan dalam pola pikir masyarakat juga perlu dilakukan agar kegiatan filantropi tidak hanya sebatas kegiatan beramal yang temporer untuk menangani kasus-kasus bencana, tapi mulai diarahkan secara profesional dan berkesinambungan untuk program-program pembangunan jangka panjang. Agar filantropi berdampak pada keadilan sosial, paradigma charity dalam penggalangan dana perlu diubah agar tumbuh kesadaran masyarakat untuk memberikan donasi bagi program-program jangka panjang, misalnya beasiswa, tunjangan kesehatan, dll yang berdampak pada pemerataan akses pelayanan publik. Untuk melakukan hal ini, kampanye mengenai filantropi dan manfaatnya bagi pemerataan pembangunan harus segera dilakukan, baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Jalur pendidikan juga dapat digunakan untuk menanamkan kesadaran kedermawanan sejak dini dalam diri anak-anak.


Bagansiapi-api, 10 Juli 2007




Daftar Pustaka
Saidi, Zaim dan Hamid Abidin. 2004. Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktik Kedermawanan Sosial di Indonesia. Jakarta: Ford Foundation dan PIRAC.
Yani, Buni. 2004. “Filantropi dan Keadilan Sosial”. Artikel dalam Koran Republika, 19 Oktober.

*) Dipublikasikan pada Warta Bapeda Jabar Vol. 12 No. 3, Juli-September 2007

Tidak ada komentar: