Selasa, 26 Februari 2008

Politik Multikulturalisme: Strategi Memperkuat Wawasan Kebangsaan

Dede Mariana dan Caroline Paskarina

Pengantar
Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Arus globalisasi dan demokratisasi yang semakin kuat di akhir abad ke-20 membawa perubahan besar, termasuk mendorong kebangkitan identitas etnis dan golongan. Nasionalisme yang sempat menjadi simbol pemersatu menghadapi kolonialisme dan imperialisme mulai menurun popularitasnya. Di sisi lain, relasi kekuasaan pun mengalami pergeseran yang signifikan sebagai akibat dari berkembangnya demokratisasi, globalisasi, dan lokalisasi yang ditandai menguatnya tuntutan otonomi daerah. Demokratisasi membuka peluang bagi setiap kelompok masyarakat untuk menonjolkan identitasnya, sehingga muncul kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis identitas agama, etnis, budaya, bahkan gender. Relasi kekuasaan dalam negara pun mengalami pergeseran, sehingga negara diwajibkan untuk mengakomodasi beragam identitas tersebut untuk memelihara keseimbangan dan harmonisasi dalam relasi kekuasaan.
Fenomena glokalisasi yang muncul sebagai antitesis terhadap globalisasi terjadi di hampir seluruh belahan dunia, khususnya di negara-negara dengan komposisi penduduk yang beragam dari sisi kultural. Di tengah arus globalisasi yang memunculkan uniformitas dalam identitas sebagai warga global, berkembang keinginan dari kelompok-kelompok minoritas untuk memunculkan jati diri kulturalnya, agar identitas tersebut memperoleh pengakuan akan eksistensinya. Fenomena ini pun terjadi di Indonesia, apalagi setelah reformasi 1998, liberalisasi politik mewarnai seluruh dinamika politik, termasuk dalam hubungan pusat dan daerah. Tuntutan akan desentralisasi semakin kuat, khususnya berasal dari daerah-daerah kaya yang selama masa Orde Baru merasa diperlakukan tidak adil dalam hal perimbangan keuangan.
Sebagai sebuah entitas kenegaraan, Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.500 pulau dan dihuni 931 kelompok etnik, mulai dari Aceh di Sumatra sampai Asmat di Papua. Masing-masing kelompok etnik memiliki kebudayaannya sendiri dengan adat-istiadat, tradisi dan kesenian. Jika tidak dikelola dengan baik, keragaman budaya ini bisa menimbulkan konflik. Samuel Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation”. Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya.
Wacana etnisitas dan identitas lokal dijadikan sebagai alat politik untuk melakukan tawar-menawar dengan pemerintah pusat agar daerah memperoleh otonomi yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Bahkan, tidak hanya tuntutan otonomi luas, sejumlah daerah pun “menekan” pemerintah pusat akan memisahkan diri dari NKRI bila tidak dipenuhi tuntutannya. Sebagai kompromi terhadap tuntutan pemisahan diri tersebut, dibuatlah UU Otonomi Khusus untuk Nangroe Aceh Darusallam dan Papua, dengan pengaturan khusus untuk mengakomodasi tuntutan pengakuan identitas lokal di kedua daerah tersebut. Aceh dengan identitas ke-Islam-annya, dan Papua dengan identitas adatnya.
Selain itu, di sejumlah daerah pun berkembang kontroversi tentang wacana peraturan daerah berdasarkan Syariat Islam. Daerah-daerah lain yang mayoritas penduduknya beragama non-Muslim pun sempat memunculkan wacana sejenis. Bali, misalnya, memunculkan isu Ajeg Bali yang intinya ingin mengembalikan nilai-nilai adat dan budaya Bali sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan. Isu agama dan etnisitas mudah sekali dipolitisasi untuk memicu konflik di masyarakat. Sejumlah daerah, seperti Poso, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Lombok, dan Ambon menjadi contoh rentannya masyarakat menghadapi politisasi identitas etnis dan agama.
Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi pekerjaan yang cukup berat untuk membangun wawasan kebangsaan. Secara historis, Indonesia sebagai suatu entitas kebangsaan merupakan hal yang baru terbentuk ketika merdeka, sementara jauh sebelumnya, telah terdapat berbagai entitas etnisitas dengan identitasnya masing-masing, yang memiliki status dan kedaulatan sendiri. Nasionalisme Indonesia adalah nilai-nilai yang sengaja diformulasikan sebagai antitesis terhadap dominasi kolonialisme Belanda oleh sekelompok masyarakat yang sebelumnya memiliki identitas masing-masing yang terpisah (Purwanto, 2001: 244). Setelah Indonesia merdeka, salahsatu tugas utama dari negara adalah menciptakan fondasi nasional bagi dirinya sendiri, namun sangat rentan terhadap gejolak identitas. Adanya campur tangan negara yang sangat besar dalam proses pembentukan identitas kebangsaan pada negara yang baru itu mengakibatkan nasionalisme yang berkembang adalah nasionalisme negara dan bukan nasionalisme popular yang berakar kuat pada masyarakat Indonesia.
Pertentangan antara identitas etnis dan identitas nasional ini menjadi inti dari persoalan penguatan wawasan kebangsaan. Menguatnya identitas etnis merefleksikan surutnya loyalitas suatu kelompok etnis terhadap kesepakatan ikatan yang lebih besar (negara bangsa). Hal ini akan mengarah pada persoalan yang lebih krusial karena dapat melemahkan kohesi nasional atau soliditas nasional. Kohesi nasional merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor, sehingga kemampuan untuk memperkuat kohesi nasional ditentukan oleh kapasitas dalam menangani komplikasi berbagai persoalan kebangsaan secara serius dan komprehensif. Di sinilah wacana mengenai penguatan wawasan kebangsaan perlu diorientasikan pada pemaknaan ulang nasionalisme dan relevansinya dengan berbagai kecenderungan yang berkembang saat ini, seperti demokratisasi dan otonomi daerah, sehingga dapat dirumuskan pendekatan-pendekatan alternatif untuk memperkuat wawasan kebangsaan dengan tetap mengakomodasi beragam identitas masyarakat yang ada di Indonesia.

selanjutnya, kirimkan e-mail ke cpaskarina@yahoo.com untuk artikel lengkap

*) Dipublikasikan sebagai salahsatu artikel dalam Buku "Tantangan Pembangunan: Dinamika Pemikiran Seskoad Edisi Keempat Belas". Diterbitkan oleh Forum Pengkajian Seskoad, Bandung, November 2007.

Tidak ada komentar: