Konsep pembangunan manusia (people centered development) bukan hal yang baru dalam wacana konsep maupun praktik pembangunan. Kegagalan model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan secara merata memunculkan pemikiran baru dalam penyelenggaraan pembangunan. Kesadaran bahwa pembangunan seyogianya menjadi sarana untuk mengentaskan kemiskinan telah melahirkan model pembangunan yang bertumpu pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yakni pendidikan, kesehatan, dan pelayanan dasar. Namun, dalam praktiknya, model pembangunan yang bertumpu pada pemenuhan pelayanan dasar (basic needs development) juga ternyata memiliki kelemahan karena seringkali terjebak pada dominasi peran birokrasi pemerintah sebagai penentu dan pelaksana program. Alih-alih memulihkan martabat manusia, pendekatan top down yang dominan dalam model pembangunan basic needs justru menciptakan ketergantungan baru masyarakat pada pemerintah.
Perkembangan konfigurasi ekonomi di tingkat global membawa implikasi terhadap perkembangan konsep dan praktik pembangunan di seluruh belahan dunia. Di negara-negara industri yang telah maju sekalipun, masih menghadapi permasalahan kemiskinan, kesenjangan, dan masalah-masalah sosial lainnya. Sementara itu, menguatnya peran pasar dalam kerangka kerja neoliberalisme menyebabkan pemerintah tidak lagi bisa berperan dominan dalam tata kelola pemerintahan. Keterbatasan anggaran dan kapasitas jangkauan pelayanan pemerintah membuat pemerintah harus mulai menggalang kemitraan dengan unsur-unsur non pemerintah, termasuk dalam penyelenggaraan pembangunan.
Berbeda dengan konsep negara kesejahteraan tradisional (traditional welfare state) yang menitikberatkan peran pemerintah untuk mengoreksi kegagalan pasar dalam mewujudkan pemerataan kesejahteraan, dalam konteks sekarang, muncul tantangan baru di mana intervensi pemerintah yang terlampau besar dalam pembangunan justru akan menciptakan ketergantungan baru dan mematikan semangat kewirausahaan. Dorongan untuk meningkatkan daya saing dalam perekonomian menyebabkan alokasi anggaran publik cenderung diprioritaskan untuk mendorong sektor-sektor ekonomi produktif demi peningkatan pendapatan dan daya beli, sementara alokasi anggaran untuk pelayanan sosial tereduksi.
Kesejahteraan memang tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi, bahkan kapasitas ekonomi seringkali ditempatkan sebagai prasyarat utama dalam memajukan taraf hidup manusia. Pemahaman inilah yang seringkali membuat para perencana pembangunan mengabaikan hakikat dari pembangunan itu sendiri. Amartya Sen mengingatkan bahwa hakikat dari pembangunan adalah kebebasan dan karena itu, pembangunan harus dapat membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan tekanan-tekanan dari pihak lain. Dari perspektif ini, pembangunan baru akan bermakna manakala terjadi peningkatan martabat manusia yang mampu membebaskannya dari belenggu-belenggu kemiskinan dan keterbatasan akses. Inilah yang sesungguhnya menjadi inti dari pembangunan manusia, yakni berfokus pada manusia, untuk memulihkan dan meningkatkan martabat manusia. Di sinilah pembangunan manusia perlu dirancang ulang dengan memadukan antara kebijakan sosial dan kebijakan ekonomi. Kebijakan sosial merupakan media untuk meningkatkan modal sosial dan sumber daya manusia agar mampu berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif.
Model pembangunan manusia perlu diredesain dengan berbasis pada investasi sosial untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, yang memiliki kemandirian untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya. Kebijakan investasi sosial yang perlu dikembangkan memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang umumnya diterapkan pada model pembangunan basic needs. Kebijakan investasi sosial yang dimaksud lebih dari sekedar pemenuhan pelayanan dasar, tapi juga diorientasikan pada pemulihan kepercayaan diri masyarakat sehingga mampu memberdayakan dirinya dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dalam menghadapi tantangan globalisasi, pemerintah tidak akan cukup kuat untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dan kesenjangan tanpa dukungan masyarakat. Namun, keberlanjutan pembangunan pun akan terhenti manakala masyarakat yang menjadi tulang punggung pembangunan tidak cukup memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya yang dimiliki. Dalam kondisi seperti ini, maka yang akan terjadi adalah instabilitas dan keterpurukan yang lebih jauh.
Namun, seperti apakah bentuk konkret kebijakan investasi sosial itu? Strategi apa yang dapat dilakukan untuk menerapkan investasi sosial dalam perencanaan pembangunan? Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, terlebih dulu perlu dipahami apa konsep investasi sosial dari perspektif konseptual dan praktis sebagai bahan perbandingan dalam mengadaptasikan model ini dalam pembangunan manusia di Jawa Barat.
Investasi Sosial: Tinjauan Konseptual
Dalam tinjauan akademik, konsep tentang investasi sosial lahir dalam khazanah pemikiran tentang pembangunan sosial (social development) yang berkembang pada dekade 1990-an. Sejumlah nama yang cukup terkenal dalam perkembangan konsep ini antara lain James Midgley (1999), Taylor-Gooby (2000), dan Anthony Giddens (1998). Midgley mendefinisikan pembangunan sosial sebagai suatu perspektif alternatif untuk meredistribusikan sumber daya dengan menekankan prioritas alokasi pada program-program sosial yang berorientasi pada produktivitas dan investasi untuk memperluas partisipasi dalam bidang ekonomi dan memberikan kontribusi positif pada pembangunan. Menurutnya, strategi yang digunakan dalam pembangunan sosial mencakup investasi pada pengembangan sumber daya manusia, program-program perluasan lapangan kerja dan kewirausahaan, pembentukan modal sosial, pengembangan aset, penghematan, dan penghapusan berbagai pembatasan terhadap partisipasi di bidang ekonomi.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Taylor-Gooby (2000) memperkuat argumentasi diperlukannya investasi sosial karena dalam konteks globalisasi ekonomi, tidak mungkin lagi tercapai kondisi tersedianya lapangan kerja yang memadai, redistribusi pendapatan yang adil, dan semakin mahalnya biaya pelayanan publik, sehingga peran negara (c.q. pemerintah) dalam mewujudkan kesejahteraan hanya dapat dilakukan melalui pembiayaan-pembiayaan sosial berbentuk investasi pada sumber daya manusia dan perluasan peluang-peluang bagi setiap individu anggota masyarakat. Menurutnya, investasi sosial harus difokuskan pada upaya penjaminan agar tiap-tiap individu punya kemampuan dan kualitas yang diperlukan untuk bekerja, bertahan hidup, dan menjalankan fungsinya sebagai warga negara di masa kini dan mendatang. Strategi yang dapat diterapkan adalah dengan mengalokasikan anggaran publik untuk program-program pemberdayaan dan pendidikan bagi anak-anak yang berkaitan dengan life skill education karena anak-anak inilah calon tenaga kerja di masa mendatang, sehingga dengan menyiapkan mereka sejak dini maka di masa mendatang akan lahir tenaga-tenaga kerja yang berkualitas dan memiliki daya saing global.
Berbeda dengan pendapat Taylor-Gooby yang menekankan pentingnya investasi bagi individu, Giddens (1998) mengembangkan konsep investasi sosial sebagai investasi pada sumber daya manusia untuk memajukan kesejahteraan agar setiap individu maupun kelompok dapat berkontribusi bagi penciptaan kesejahteraan. Investasi sosial terutama diarahkan pada program peningkatan keterampilan, riset, teknologi, pemeliharaan anak-anak dan pemberdayaan komunitas sebagai upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Asumsinya, menurut Giddens, melalui program-program investasi sosial tersebut, pemerintah dapat melengkapi masyarakatnya dengan kemampuan untuk merespon dan beradaptasi dengan perubahan ekonomi global yang selanjutnya dapat meningkatkan daya saing. Investasi pada pendidikan seumur hidup (life long learning), kesehatan, dan pengembangan komunitas sebagai basis modal sosial merupakan langkah strategis untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa mendatang. Demikian pula investasi pada penguatan modal sosial dan kohesi komunitas dapat memperkuat solidaritas sosial yang berfungsi sebagai daya rekat bagi stabilitas sosial yang lebih baik.
Dengan demikian, menurut Giddens, investasi sosial bukan hanya diarahkan bagi individu semata, tapi juga bagi komunitas karena individu hidup di tengah-tengah komunitas dan kondisi sosial yang baik akan menjadi faktor pendukung yang kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, investasi sosial diarahkan sebagai prakondisi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya diciptakan melalui pengelolaan faktor-faktor produksi, tapi juga melalui pemberdayaan sosial.
Meskipun demikian, kebijakan investasi sosial pun dapat berdampak negatif bila tidak dirancang dengan baik karena dapat terjerumus pada upaya eksploitasi sumber daya manusia sebagai alat produksi semata. Untuk mencegahnya, penerapan kebijakan investasi sosial harus diorientasikan pada penciptaan peluang berusaha yang sama besar bagi tiap warga masyarakat, bukan sekedar penciptaan lapangan kerja yang punya nilai ekonomis. Artinya, kebijakan publik harus digeser dari semula berkonsentrasi pada redistribusi kesejahteraan kepada upaya mendorong terciptanya kesejahteraan. Ketimbang memberikan subsidi kepada pelaku usaha, pemerintah mestinya lebih berusaha mendorong terciptanya kondisi yang membawa dunia usaha agar berinovasi dan para pekerja agar lebih efisien dalam perilaku ekonominya[1]. Produktivitas ekonomi didorong dan diperkuat dengan menciptakan kondisi stabilitas sosial, sehingga para pekerja bisa bekerja dengan tenang karena ada jaminan pemeliharaan kesehatan, investasi dalam dunia pendidikan dan pelatihan, skema kesejahteran untuk kerja (welfare to work scheme), dan penindakan kejahatan secara tegas.
Menerapkan Investasi Sosial di Jawa Barat: Mungkinkah?
Untuk menerapkan kebijakan investasi sosial dalam perencanaan pembangunan di Jawa Barat bukanlah hal yang mudah mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi memerlukan skala prioritas dalam penanganannya. Seringkali permasalahan kemiskinan, kesenjangan, dan konflik sosial dipandang sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di masyarakat, sehingga pendekatan yang digunakan untuk mengatasinya cenderung bersifat economic minded. Padahal, dengan melakukan investasi sosial, beban masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah sosial dapat dikurangi sehingga masyarakat dapat lebih berkonsentrasi dalam kegiatan ekonomi produktif. Penghematan sebenarnya bisa dilakukan, misalnya melalui asuransi pendidikan, sehingga pengeluaran orang tua untuk membiayai sekolah anak-anaknya bisa dialihkan menjadi dana tabungan atau investasi untuk mendorong kegiatan ekonomi lainnya.
Pada masa sekarang, tidak lagi memadai jika masyarakat terus-menerus dilindungi oleh pemerintah. Masyarakat juga harus merasakan urgensi tanggung jawab dan resiko dari setiap masalah yang dihadapi karena masyarakat tidak hanya memiliki hak tapi juga kewajiban. Menerapkan kebijakan investasi sosial berarti pula pemerintah harus mulai memberikan kepercayaan pada masyarakat untuk mulai memikul tanggung jawab dalam pembangunan. Artinya, pemerintah harus lebih banyak memberikan program pemberdayaan masyarakat dibandingkan program-program bantuan yang bersifat amal (charity). Kekuatan kunci dalam pemberdayaan masyarakat adalah pendidikan. Pendidikan adalah investasi sosial pokok yang dapat mendorong efisiensi ekonomi dan kohesi sosial. Dalam kaitannya dengan pembangunan manusia, program pendidikan tidak semata diarahkan pada penambahan kuantitas dan kualitas fasilitas pendidikan, tapi lebih difokuskan pada penciptaan kapabilitas yang memungkinkan individu berkembang sepanjang hidupnya. Orientasi pendidikan bukanlah gelar, tapi life skilled individual, atau orang yang memiliki keterampilan untuk mengatasi resiko dan tantangan perubahan sosial. Di masa mendatang, paradigma pendidikan perlu digeser pada perluasan sekolah-sekolah kejuruan sesuai dengan potensi lokal di tiap-tiap kabupaten/kota. Insentif juga bisa diberikan bagi pembaharuan kurikulum yang memuat pendidikan kewirausahaan atau life skill education. Prioritas pada program pendidikan bagi anak-anak dan kaum muda merupakan salahsatu bentuk aplikasi kebijakan investasi sosial yang diterapkan di Inggris dan Canada, bahkan di Canada, juga diterapkan program dana perwalian bagi anak-anak untuk menjamin akses pendidikan dan kesehatan bagi mereka.
Investasi dalam bidang riset dan teknologi yang relevan, seperti teknologi informasi, juga menjadi bentuk kebijakan investasi sosial yang bisa dilakukan pemerintah. Pemanfaatan teknologi informasi dapat mendorong efisiensi dalam prosedur birokrasi sekaligus membuka akses informasi yang lebih luas bagi masyarakat. Namun, perlu diingat bahwa pengembangan teknologi informasi juga memerlukan biaya yang besar, sehingga investasi dalam aspek ini perlu diimbangi dengan jalinan kemitraan antara pemerintah dengan stakeholders lain. Insentif dalam bentuk kemudahan investasi swasta untuk pengembangan teknologi informasi bisa diberikan dalam bentuk kemudahan pajak, penyederhanaan perizinan, dan sejenisnya.
Investasi sosial juga perlu dilakukan dalam pengembangan modal sosial. Modal sosial menjadi penting untuk memperkuat kohesi sosial, terutama di lingkup terdekat dengan individu, yakni lingkup keluarga dan ketetanggaan (neighbourhood). Pemberdayaan keluarga dan ketetanggaan diperlukan sebagai sarana pembelajaran bagi individu untuk belajar mengorganisasikan diri dan mempersiapkan kapasitas untuk berpartisipasi dalam lingkup masyarakat yang lebih luas. Kebijakan ekonomi sekarang ini cenderung “menjauhkan” orang tua dari kehidupan keluarga karena mau tidak mau pasangan orang tua yang bekerja dituntut untuk berkonsentrasi penuh untuk mencari nafkah demi membiayai keluarganya. Di balik dalih kesetaraan gender, kaum perempuan didorong untuk terjun dalam dunia publik dan bekerja, padahal seringkali mereka bekerja di sektor informal atau bekerja sebagai buruh dengan penghasilan terbatas. Anak-anak seringkali dibesarkan bukan lagi oleh orang tua tapi oleh pembantu bahkan oleh media televisi, padahal dalam konsep investasi sosial, anak-anak adalah inti dari masa depan suatu masyarakat. Karena itu, di masa mendatang perlu dikembangkan berbagai alternatif kebijakan yang memungkinkan interaksi dalam keluarga bisa tetap berlangsung dengan intens. Bentuk-bentuk pendidikan yang bernuansa home schooling bisa dikembangkan sebagai alternatif, tentunya dengan menerapkan standar dalam kurikulum dan kompetensi tenaga pengajarnya. Regulasi bagi kantor-kantor dan perusahaan untuk menyediakan tempat pengasuhan anak juga bisa menjadi alternatif untuk memperkuat ikatan kekeluargaan. Dalam lingkup ketetanggaan, penguatan organisasi-organisasi ketetanggaan, seperti pengajian, arisan, karang taruna, persekutuan umat beragama bisa dikembangkan untuk menjalankan fungsi sosial bahkan filantropis dalam mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kenakalan remaja, lemahnya daya beli, kelaparan, bahkan narkoba.
Kritik terhadap kebijakan investasi sosial adalah bahwa kebijakan ini tidak paralel dengan pertumbuhan ekonomi, seolah-olah keduanya merupakan pilihan yang berada pada titik ekstrem. Padahal, investasi sosial dapat dipadukan dengan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti yang dikembangkan dalam lingkup negara-negara Uni Eropa. Dalam Amsterdam Treaty (1999) dan Lisbon Strategy (2000), Uni Eropa menerapkan strategi untuk mengintegrasikan kebijakan ekonomi, sosial, dan lapangan kerja untuk meningkatkan daya saing, penyediaan lapangan kerja secara penuh (full employment), dan memajukan inklusivitas sosial. Di sini, investasi sosial diarahkan untuk mendorong produktivitas tenaga kerja, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di Victoria (Australia), investasi sosial difokuskan pada kesehatan dan pendidikan, dengan peningkatan alokasi dan staf untuk sekolah-sekolah dan rumah sakit. Pendidikan menjadi media strategis untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kohesi sosial melalui pembelajaran seumur hidup, serta upaya untuk memperluas akses dan peluang kerja bagi kelompok-kelompok masyarakat marginal dengan memberdayakan komunitas.
Berbagai contoh di atas menunjukan bahwa investasi sosial dapat diintegrasikan dengan kebijakan ekonomi, bahkan bila memang model pembangunan manusia ingin secara konsisten diterapkan maka model ini perlu ditopang oleh kebijakan investasi sosial untuk mendorong partisipasi masyarakat secara otonom. Dalam konteks Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk cukup besar, hampir 40 juta orang, kebijakan investasi sosial menjadi relevan untuk mengantisipasi tantangan yang semakin berat di masa mendatang. Pemerintah akan kesulitan bila terus-menerus menerapkan model pemenuhan basic needs karena akan membebani anggaran, masyarakat akan menjadi pasif, dan kontinuitas pembangunan terganggu. Sebaliknya, perubahan dalam struktur masyarakat yang makin heterogen pun harus segera diimbangi dengan penguatan modal sosial untuk meminimalkan potensi konflik dan eksklusivitas kelompok-kelompok masyarakat. Tanpa investasi sosial, maka pembangunan manusia akan kehilangan maknanya yang sesungguhnya, untuk membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan penistaan.
Tepi Cikapundung, 26 Desember 2007
Pustaka Acuan
Giddens, Anthony. 2003. Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya. Edisi terjemahan, dari buku “The Third Way and Its Critiques”, diterbitkan oleh Polity Press, Cambridge, 2000. Penerjemah: Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCiSoD.
Lister, Ruth. 2004. “New Policy Directions in OECD Countries: The Emergence of The Social Investment State”. Makalah, disampaikan pada seminar Exploring New Approaches to Social Policy: PRI Conference. Ottawa: Canada, 13 – 15 Desember.
Perkins, Daniel, Lucy Nelms dan Paul Smyth. 2004. Beyond Neo-Liberalism: The Social Investment State? Australia: Centre for Public Policy University of Melbourne.
[1] Giddens. 2003. Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya. Edisi terjemahan, dari buku “The Third Way and Its Critiques”, diterbitkan oleh Polity Press, Cambridge, 2000. Penerjemah: Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCiSoD.
*) Dipublikasikan dalam Warta Bapeda Jabar Vol. 13 No. 1, Januari - Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar