Sekali lagi bencana menjadi pusat perhatian kita. Kali ini sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang terkena tsunami dan gempa. Rangkaian bencana menjalar bagai efek domino dari Aceh, Sumatera, Papua, hingga Jawa. Bangsa Indonesia semakin terpuruk bukan hanya oleh bencana alam, tapi juga bencana akibat kelalaian manusia. Longsornya timbunan sampah, banjir lumpur, busung lapar menambah catatan panjang daftar bencana di Indonesia. Berbagai faktor determinan diungkap sebagai penjelas, termasuk yang sifatnya mistik sekalipun. Namun, satu hal yang perlu kita sadari, bahwa rangkaian bencana yang terjadi sekarang adalah buah yang kita tuai akibat kesalahan pola pembangunan yang sudah dilakukan sejak berpuluh tahun yang lampau. Jadi, bencana yang sekarang terjadi tidak semata akibat alam, tapi akibat kegagalan dalam mengelola alam.
Selama berpuluh-puluh tahun, pembangunan diorientasikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital. Industrialisasi dijadikan indikator kemajuan suatu wilayah, namun, keseimbangan lingkungan hidup terabaikan. Begitu banyak bencana karena ulah manusia, sehingga menyebabkan perusakan lingkungan dan ketidakseimbangan ekosistem, yang pada akhirnya menimbulkan bencana.
Terjadinya suatu bencana biasanya membawa dampak perubahan dalam banyak hal, khususnya yang menyangkut perbaikan upaya-upaya penanggulangan bencana tersebut. Padahal, lebih dari itu, terjadinya suatu bencana sebenarnya dapat menjadi awal bagi pembaharuan perencanaan pembangunan. Pembangunan pada hakikatnya merupakan rangkaian upaya yang dilakukan untuk menuju perbaikan suatu keadaan. Terjadinya bencana dapat menjadi suatu bentuk peringatan bahwa pola pembangunan yang selama ini diterapkan bisa jadi tidak sesuai, bahkan menganggu keseimbangan ekosistem. Sebaliknya, ketika menangani suatu bencana, mungkin saja ditemukan berbagai inovasi yang kemudian dapat diterapkan untuk memperbaiki program-program pembangunan yang selama ini diterapkan. Dengan demikian, terdapat keterkaitan antara bencana dengan pembangunan, namun bagaimana pola-pola keterkaitan tersebut serta upaya apa yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan peluang-peluang pembangunan yang muncul pascabencana masih menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan.
Redesain Perencanaan Pembangunan
Perencanaan pembangunan mencakup dimensi yang sangat luas, di dalamnya terdapat kajian konseptual mengenai isu-isu strategis dalam suatu rentang waktu tertentu serta kebijakan yang menjadi landasan normatif untuk merealisasikan kerangka konseptual tersebut. Berkaitan dengan aspek kontinuitas dari pembangunan, maka sudah saatnya bagi daerah-daerah di Indonesia untuk mengintegrasikan pendekatan manajemen bencana dalam perencanaan pembangunan. Pada hakikatnya, manajemen bencana adalah kewaspadaan dan kesiapsiagaan untuk mengurangi atau menghindari ancaman bahaya yang dapat berpotensi menimbulkan bencana yang merugikan, yaitu memahami bahwa manajemen bencana adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Terjadinya suatu bencana sangat berhubungan dengan pola perencanan pembangunan yang pragmatis dan tidak berkelanjutan. Karena itu, berbagai potensi kerentanan dan bahaya harus dianalisis untuk menentukan resiko bencana yang mungkin timbul sebagai dampak dari pembangunan. Program-program pembangunan yang disusun dalam rencana pembangunan seyogianya dinilai dalam konteks bencana, artinya, sejauhmana pengaruh bencana pada program-program pembangunan atau apakah program-program pembangunan memperbesar peluang terjadinya bencana atau meningkatkan pengaruh-pengaruh yang berpotensi merusak dari suatu bencana.
Bencana dilihat bukan hanya dalam konteks respon emergensi, tetapi sebagai bagian dari program pembangunan jangka panjang. Ketika suatu bencana terjadi, perlakuan (treatment) penanganan lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emergensi dan pembersihan. Kerusakan pembangunan akibat bencana, bukan saja memberikan pukulan langsung kepada korban tetapi juga dampak-dampak tidak langsung. Dampak langsung misalnya kematian, kerusakan rumah dan infrastruktur, gangguan psikologis, dan lain sebagainya. Dampak tidak langsung antara lain hilang atau rusaknya fungsi-fungsi produktifitas, misalnya persawahan, pabrik, jaringan transportasi, jaringan pasar. Lebih lanjut hal in akan merusak sistem pasar, kemampuan beli dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya ke depan diperlukan upaya-upaya pendugaan dan pencegahan lebih diutamakan, sehingga pendekatan pra-bencana menjadi pengganti pendekatan yang selama ini dipilih, yakni pasca bencana. Terjadinya suatu bencana memang tidak dapat diprediksikan, tapi perencanaan pembangunan dapat menjadi alat untuk menyusun suatu upaya preventif yang akan meminimalkan dampak pascabencana.
Perencanaan penggunaan lahan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, misalnya, di dalamnya dapat memuat kawasan-kawasan yang berfungsi sebagai kawasan pengungsian manakala terjadi bencana. Pengaturan penggunaan lahan juga dapat diarahkan untuk mempertahankan daya dukung lingkungan, misalnya ada pembatasan kuantitas permukiman yang diperbolehkan dalam suatu kawasan, sehingga potensi terjadinya bencana akibat penurunan daya dukung lingkungan dapat diminimalkan.
Besarnya dampak suatu bencana dapat diukur dari jumlah korban jiwa dan harta benda. Selama ini, metode penentuan besaran suatu bencana lebih banyak ditentukan oleh jumlah korban jiwa dan harta benda yang dihitung beberapa hari setelah bencana terjadi. Padahal, kerugian yang ditimbulkan sebenarnya berdampak jauh lebih lama karena bencana dapat menyebabkan masyarakat di suatu daerah menjadi termarginalkan. Dalam kajian yang dilakukan UNDP (1992), misalnya, diketahui bahwa dampak utama yang ditimbulkan oleh suatu bencana adalah kemiskinan. Penduduk yang tergolong kemampuan ekonominya tinggi, bisa bertahan hidup terhadap bencana atau dapat pulih kembali secara cepat karena ditopang oleh adanya asuransi atau tabungan (saving). Sebaliknya, penduduk yang tingkat ekonominya menengah ke bawah, yang umumnya merupakan mayoritas warga yang ada dalam suatu daerah, merupakan kelompok yang paling lama terkena dampak dari bencana. Bencana gempa di Yogyakarta dan tsunami di Pangandaran, misalnya, menyisakan permasalahan baru akibat belum terpenuhinya kebutuhan dasar seperti biaya hidup sebagai prasarat untuk mengakhiri masa darurat. Bahkan disana-sini masih menghadapi masalah serius yang belum terpecahkan, yang berpotensi melahirkan konflik dan kekerasan.
Agenda Antisipatif
Mumpung Jawa Barat sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk periode 20 tahun ke depan, sekarang menjadi saat yang tepat untuk mulai memasukan penanganan bencana sebagai isu strategis dalam perencanaan pembangunan dan kewilayahan di Jawa Barat. Setidaknya terdapat 3 aspek yang memerlukan penanganan, pertama, aspek kebijakan. Penanganan bencana tidak hanya membutuhkan desain kebijakan yang mengatur mengenai manajemen bencana, tapi juga kebijakan yang komprehensif. Peninjauan ulang kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi langkah awal yang harus segera dilakukan untuk mengantisipasi dampak bencana yang lebih besar. Penataan ruang ini perlu diimbangi dengan pengembangan wilayah, dalam arti peningkatan kapasitas infrastruktur dan ekonomi warga masyarakat yang berada dalam suatu wilayah. Kemiskinan menjadi faktor penting yang perlu segera ditangani untuk mencegah semakin rusaknya ekosistem. Akibat kemiskinan, banyak orang yang terpaksa bermukim di wilayah-wilayah yang sebenarnya bukan diperuntukkan bagi permukiman. Konsep-konsep pengembangan wilayah yang berbasis pada kelangsungan ekosistem perlu diadaptasi dalam perencanaan pembangunan daerah, termasuk menerapkan pola penataan wilayah yang rawan bencana, seperti daerah pesisir pantai, bantaran sungai, perdesaan di bawah gunung, dll. Dengan demikian, sekalipun kehadiran bencana tidak dapat diprediksi dengan pasti waktunya, tapi upaya antisipatif dapat dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya, sambil terus meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar daerah rawan bencana tersebut.
Kedua, aspek kelembagaan. Kejelasan standar operasional prosedur dalam penanganan bencana mensyaratkan adanya kelembagaan yang jelas, sehingga koordinasi dan pembagian peran dapat segera dipetakan. Kelembagaan yang harus disiapkan tidak hanya tim penanganan bencana, tapi juga kelembagaan lain yang terkait, seperti rumah sakit, tenaga medik, tenaga ahli yang menangani psikologi korban bencana, tim evakuasi, tim pemelihara keamanan, dll. Selama ini, penanganan bencana yang cenderung reaktif masih menyisakan permasalahan dalam hal koordinasi dan lemahnya antisipasi lembaga terkait. Pelatihan, pembinaan, dan dukungan dana yang kontinyu perlu disiapkan agar kelembagaan penanganan bencana tanggap dalam menangani bencana. Pelibatan aparat kecamatan sebagai ujung tombak dalam pengelolaan bencana dapat menjadi alternatif untuk memotong birokratisasi manajemen bencana. Untuk itu, aparat kecamatan, terutama di daerah-daerah yang rawan bencana perlu dibekali dengan kemampuan manajemen bencana, sehingga mampu berperan cepat sebagai ujung tombak dalam penanganan bencana. Kerjasama perlu dibuat seluas mungkin agar menciptakan dorongan perubahan yang cepat. Kerjasama ini bentuknya dapat berupa sharing untuk membuat sistem administrasi atau database warga, seperti menyangkut data warga, jumlah korban, dan luka, jenis-jenis kerusakan rumah dan fasilitas publik lainnya serta sistem pengaturan logistik secara adil dan merata guna menghindari penumpukan di salah satu kelompok warga tertentu.
Ketiga, aspek kemasyarakatan. Dalam era otonomi daerah, seyogianya pemerintah daerah beserta seluruh stakeholders berupaya untuk membuat masyarakatnya yang rentan menjadi lebih berkapasitas. Tujuan akhirnya, membuat mereka mampu mengatasi semua ancaman agar tidak menjadi bencana. Manajemen resiko dan manajemen bencana perlu diintegrasikan agar tidak menempatkan masyarakat pada posisi lemah, bodoh dan salah. Asas yang melandasi mekanisme ini adalah “pemberdayaan”, yaitu memperhatikan kapasitas awal masyarakat dan kegiatan dibangun untuk masyarakat agar dapat mengembangkan kapasitasnya sendiri. Program pemberdayaan masyarakat sejatinya tidak bertumpu dengan uang, namun pada upaya membangkitkan potensi, prakarsa yang dimiliki masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Kesalahan dalam memaknai bantuan akan berakibat fatal, yakni hilangnya etos keswadayaan warga dan keroposnya modal sosial di dalam masyarakat. Bukan berarti menolak bantuan, tapi dengan memperhatikan bahwa bantuan tidak akan datang selamanya maka yang terpenting adalah bagaimana komunitas para korban bencana bangkit dan membangun perencanaan pemulihan. Nilai-nilai komunitas yang selama ini hidup di masyarakat menjadi modal bersama menumbuhkan semangat berkomunitas. Desain manajemen bencana inilah yang perlu dipadukan dengan perencanaan pembangunan daerah, sehingga manajemen bencana terintegrasi dengan penguatan kapasitas tata ruang, kelembagaan, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pemahaman masyarakat tentang bencana perlu diubah agar tidak bersikap fatalis. Kenyataan bahwa Jawa Barat berada di kawasan yang rawan bencana seyogianya melahirkan political will yang lebih tegas dari pemerintah daerah untuk mendesain manajemen bencana secara komprehensif dan berfungsi secara kontinyu (permanen), mulai dari pendanaan, kelembagaan, standar prosedur, sarana dan prasarana, serta melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan bencana tersebut.
Tepi Cikapundung, Juli 2006
*) Dipublikasikan dalam Warta Bapeda Jabar, Vol. 11 No. 2, April - Juni 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar