Kamis, 09 April 2009

ASURANSI PENDIDIKAN: ALTERNATIF PENDANAAN PENDIDIKAN

Caroline Paskarina


Investasi dalam bentuk sumber daya manusia yang berkualitas tampaknya sekarang telah menjadi mode. Di hampir semua daerah di Indonesia, bahkan juga di tingkat nasional dan global, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonomi menjadi agenda strategis yang diprioritaskan. Millenium Development Goals, misalnya, menempatkan 6 (enam) agenda dari 8 (delapan) agenda yang langsung berkaitan dengan sumber daya manusia. Keenam agenda tersebut adalah pemberantasan kemiskinan dan kelaparan ekstrem; pendidikan dasar untuk semua; kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; penurunan angka kematian anak; peningkatan kesehatan ibu; dan perang terhadap HIV/AIDS, malaria, serta penyakit lainnya.
Selain menjadi bagian dari agenda pembangunan abad ke-21, pembangunan kualitas sumber daya manusia juga menjadi kata kunci penting sebagaimana tergambar dalam konsep human capital. Manusia dipandang sebagai modal yang perlu dikelola secara optimal agar pembangunan dapat terjamin keberlanjutannya. Dalam konsepsi ini, pembangunan manusia melalui pendidikan dan kesehatan pada dasarnya merupakan bagian dari investasi untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang memiliki intelektualitas dan kompetensi memadai untuk mengelola sumber daya-sumber daya lainnya, sehingga taraf hidup dan kesejahteraan meningkat.
Pentingnya mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas bahkan menjadi bagian dari agenda konstitusi sebagaimana termuat dalam pasal 30 UUD 1945. Dalam Amandemen UUD 1945, jaminan terhadap hak memperoleh pendidikan diperkuat dengan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan minimal 20% dari anggarannya untuk pembiayaan pendidikan, di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Jumlah ini tentunya tidak seberapa dibanding tugas berat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang mampu berdaya saing dan produktif. Namun juga, bukan jumlah yang kecil bila dikaitkan dengan kapasitas keuangan Pemerintah dan pemerintah daerah yang sangat beragam.
Selama ini, pembiayaan pendidikan tidak hanya bersumber dari pemerintah. Dalam penyelenggaraan pendidikan, setidaknya terdapat 3 (tiga) sumber pembiayaan, yakni: anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah (termasuk dari hibah dan pinjaman luar negeri); iuran siswa/keluarga siswa (disalurkan melalui sekolah ataupun dibelanjakan sendiri); dan sumbangan masyarakat (selain keluarga siswa). Dari ketiga sumber pembiayaan ini, peran keluarga siswa (orang tua) masih sangat dominan dalam menopang penyelenggaraan pendidikan. Padahal, tidak semua anggota masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, sehingga berdampak pada tingginya angka putus sekolah. Kondisi ini juga terjadi di Jawa Barat, yang angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) pada tahun 2007 baru mencapai 7 tahun lebih. Hal ini berarti bahwa kebanyakan anak usia sekolah di Jawa Barat hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang SMP, dan itupun tidak semuanya tamat.
Bila dikaitkan dengan paradigma pembangunan manusia dan human capital, tingginya angka putus sekolah ini tentunya sangat tidak kondusif dalam penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas. Sebaliknya, makin banyak jumlah anak putus sekolah, maka beban negara dan pemerintah akan makin berat karena negara harus menyediakan jaring pengaman sosial yang lebih banyak untuk menopang masyarakat marginal tersebut. Tingkat pendidikan yang rendah umumnya akan berkorelasi pada lemahnya akses terhadap berbagai sumber daya, seperti lapangan pekerjaan yang layak, pelayanan kesehatan yang memadai, juga ketiadaan jaminan kesejahteraan di hari tua. Akibatnya, akan timbul lingkaran setan kemiskinan yang tidak terputuskan yang menyebabkan berapapun tingkat pertumbuhan ekonomi yang tercapai tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan yang merata.
Karena itu, wacana anggaran pembiayaan pendidikan sebenarnya punya makna yang lebih dalam dan komprehensif, tidak hanya terkait pembangunan pendidikan tapi juga investasi sosial. Penggunaan anggaran pendidikan dengan tepat akan menjadi langkah awal untuk memutus rantai kemiskinan. Isu pokok yang perlu segera dicari pemecahannya adalah bagaimana memanfaatkan sebaik mungkin alokasi anggaran pendidikan yang terbatas tersebut agar dapat menimbulkan efek pemerataan pendidikan seoptimal mungkin. selengkapnya klik pada judul...
(dimuat dalam Warta Bapeda Jawa Barat edisi Juli-September 2008)

Tidak ada komentar: